Boni: Ideologi Dan Gerakan Ekstrim Garis Keras Perlu Di Lemahkan

Jakarta RN. Ideologi gerakan ekstrim dengan menghalalkan kekerasan  demi mencapai tujuan parsial perlu di ganti dengan ideologi moderat !,...

Jakarta RN.
Ideologi gerakan ekstrim dengan menghalalkan kekerasan  demi mencapai tujuan parsial perlu di ganti dengan ideologi moderat !, karena faham yang menganut faham kekerasan adalah bentuk ideologi radikal yang harus di lemahkan atau di Deradikalisasi. Begitu definisi Deradikalisasi oleh pengamat politik  sekaligus  direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI), Boni Hargens, dalam sebuah diskusi bertema DERADIKALISASI MELALUI POLITIK DAN KEBUDAYAAN, Jumat (10/3) di Cheese Cake Factory, Jl. Cikini Raya Menteng, Jakarta Pusat.

Menurut Boni, sejak 1998, aksi teror serta kekerasan dengan mengatasnamakan agama menguat,  kecenderungan radikalisasi terjadi dalam dua ranah yakni; Sosial dan politik.

"Aksi teror dan kekerasan di Indonesia menguat sesudah tahun 1998,  terutama pasca tragedi 11/9 di Washington, AS. Cenderung di dua ranah, sosial dan politik," terang Boni

Boni juga menjelaskan jika dalam ranah sosial ada radikal made in Indonesia dan luar negeri (import dari timur tengah).

"Radikal ada buatan dalam negeri dan import dari luar. untuk radikal buatan dalam negeri dalam ranah sosial, sebetulnya tidak murni sosial, karena terkontaminasi dengan kepentingan politik. Radikalisasi bentuk mobilisasi sosial baru pasca lengsernya pemerintahan Soeharto", Jelasnya.

Dalam ranah politik,  Boni juga menguraikan apabila partai agama sudah ada sejak NKRI berdiri, namun dengan kepiawaian kelompok nasionalis  terkait piagam Jakarta, debat dalam hal tersebut di menangkan oleh kelompok nasionalis.

Tahun 1973 fusi partai di lakukan oleh Soeharto, membuat partai religius bergabung di PPP, meskipun menyisakan kekecewaan  besar oleh beberapa kelompok islam politik.

"Tahun 1973, saat Soeharto berkuasa, semua partai religius menyatu di PPP, meskipun menyisakan kekecewaan besar. Pada tahun 1983 pancasila mulai di wajibkan sebagai landasan ideologi bagi semua organisasi. Baru pasca 1998 kembali mereka partai islam kembali memperlihatkan diri," urai Boni.

Kini, lanjut Boni "Ada persoalan utama di parlemen pusat juga daerah, pembuatan UU atau Perda sering tidak di dasarkan pada kepentingan ideologis, UU atau Perda yang memberi ruang  bagi kelompok radikal biasanya di sahkan. Kiranya parlemen perhitungkan masa depan demokrasi pancasila yang tengah terancam, " tegas Boni.

Dengan kondisi yang demikian. Boni khawatir dan bertanya, akan Berapa tahun lagi umur Indonesia? .

"Kalau dua sampai tiga kali pemilu partai berjubah agama yang memperjuangkan Indonesia Syariah memperoleh suara signifikan dengan di barengi ormas garis keras yang subur dengan basis yang kuat, maka pada pemilu ke empat mereka akan menancapkan kaki di berbagai institusi, dan dapat merubah kultur  politik. Dan apakah akan di diamkan Indonesia yang menjunjung tinggi nilai keberagaman berubah menjadi satu golongan ?,". Pungkasnya (Dof)