Mojokerto, RN Rangkaian persiapan menyambut Hari Raya Nyepi mulai dilakukan. Hal itu diawali dengan kegiatan melasti, yakni sebuah upac...
Mojokerto, RN
Rangkaian persiapan menyambut Hari Raya Nyepi mulai dilakukan. Hal itu diawali dengan kegiatan melasti, yakni sebuah upacara penyucian diri yang dilakukan sepekan jelang Nyepi. Pada umumnya, Melasti dilakukan di lokasi sumber air. Di Mojokerto, kegiatan tersebut diselenggarakan di sumber air Petirtaan Jolotundo. Minggu (11/3), tak kurang dari 800 umat Hindu turut hadir dan memadati area situs yang berada di Desa Seloliman, Kecamatan Trawas ini.
Mereka berasal dari 11 pura yang tersebar di wilayah Mojokerto, Sidoarjo, dan Pasuruan. Prosesi diawali dengan arak-arakan jempana yang dibawa dari masing-masing pura. Dengan mengenakan pakaian adat serbaputih dan iringan tabuhan musik, ratusan umat Hindu berjalan kaki mulai pintu gerbang menuju Petirtaan Jolotundo.
Selain itu, mereka juga membawa banten yang diusung di atas kepala (disuwun). Banten adalah salah satu unsur wajib yang dibawa oleh umat Hindu saat melakukan upacara keagamaan, tak terkecuali melasti. Dimana sesajian itu merupakan sarana persembahan untuk ucapan rasa syukur dan terima kasih.
Sebelum dimulai, setiap jembana diletakkan di altar Petirtaan Jolotudo. Sebab, selain pensucian diri, upacara melasti juga melakukan pembersihan benda sakral milik pura.
’’Kegitan Melasti ini juga dilakukan penyucian sarana-sarana upacara di tempat ibadah atau pura masing-masing,’’ ungkap I Wayan Sudana, humas panitia Nyepi Kabupaten/Kota Mojokerto.
Pemiilihan Jolotundo sebagai lokasi melasti tak lepas dari nilai sejarahnya. Pasalnya, Jolotundo diyakini sebagai bekas pertapaan Raja Airlangga, anak Raja Udayana dari Bali yang menikah dengan Putri Guna Priya Dharma dari Jawa.
Candi disimbolkan sebagai monumen cinta kasih Raja Udayana untuk menyambut kelahiran anaknya, Prabu Airlangga, yang diperkirakan dibangun pada tahun 997 Masehi. ’’Petirtaan Jolotundo ini merupakan sebuah peninggalan kerajaan besar Hindu, Kerajaan Airlangga,’’ paparnya.
Menurutnya, melasti ini untuk kali kedua diselenggarakan di Jolotundo. Namun, tahun ini, upacara itu diikuti umat lebih banyak dibandingkan sebelumnya. Selain itu, melasti kali ini juga cukup berbeda. Karena juga menyuguhkan upacara dengan kearifan lokal Jawa.
Seperti tari remo sebagi pembuka acara dan juga upacara dengan adat Jawa yang Romo Pinandita Margono, pemangku adat Petirtaan Jolotundo. Sudana menyebutkan, melasti merupakan rangkaian awal menyambut Hari Raya Nyepi tahun baru Saka 1940 yang jatuh pada (17/3) nanti.
Meski sempat diguyur hujan, tak mengurangi kekhidmatan umat Hindu untuk mengikuti serangkaian kegiatan Melasti hingga akhir. Dia menambahkan, selesainya acara, masing-masing umat Hindu akan mengembalikan sarana-sarana upacara yang telah disucikan ke pura masing-masing.
Tak berhenti di situ, kegiatan akan disambung dengan tawur agung yang akan diselenggarakan (16/3) nanti di Gelora Gajah Mada Mojosari. Umat Hindu biasanya membuat ogoh-ogoh dengan beragam bentuk. Ogoh-ogoh merupakan simbol dari si jahat dan angkara murka. (NC)
Rangkaian persiapan menyambut Hari Raya Nyepi mulai dilakukan. Hal itu diawali dengan kegiatan melasti, yakni sebuah upacara penyucian diri yang dilakukan sepekan jelang Nyepi. Pada umumnya, Melasti dilakukan di lokasi sumber air. Di Mojokerto, kegiatan tersebut diselenggarakan di sumber air Petirtaan Jolotundo. Minggu (11/3), tak kurang dari 800 umat Hindu turut hadir dan memadati area situs yang berada di Desa Seloliman, Kecamatan Trawas ini.
Mereka berasal dari 11 pura yang tersebar di wilayah Mojokerto, Sidoarjo, dan Pasuruan. Prosesi diawali dengan arak-arakan jempana yang dibawa dari masing-masing pura. Dengan mengenakan pakaian adat serbaputih dan iringan tabuhan musik, ratusan umat Hindu berjalan kaki mulai pintu gerbang menuju Petirtaan Jolotundo.
Selain itu, mereka juga membawa banten yang diusung di atas kepala (disuwun). Banten adalah salah satu unsur wajib yang dibawa oleh umat Hindu saat melakukan upacara keagamaan, tak terkecuali melasti. Dimana sesajian itu merupakan sarana persembahan untuk ucapan rasa syukur dan terima kasih.
Sebelum dimulai, setiap jembana diletakkan di altar Petirtaan Jolotudo. Sebab, selain pensucian diri, upacara melasti juga melakukan pembersihan benda sakral milik pura.
’’Kegitan Melasti ini juga dilakukan penyucian sarana-sarana upacara di tempat ibadah atau pura masing-masing,’’ ungkap I Wayan Sudana, humas panitia Nyepi Kabupaten/Kota Mojokerto.
Pemiilihan Jolotundo sebagai lokasi melasti tak lepas dari nilai sejarahnya. Pasalnya, Jolotundo diyakini sebagai bekas pertapaan Raja Airlangga, anak Raja Udayana dari Bali yang menikah dengan Putri Guna Priya Dharma dari Jawa.
Candi disimbolkan sebagai monumen cinta kasih Raja Udayana untuk menyambut kelahiran anaknya, Prabu Airlangga, yang diperkirakan dibangun pada tahun 997 Masehi. ’’Petirtaan Jolotundo ini merupakan sebuah peninggalan kerajaan besar Hindu, Kerajaan Airlangga,’’ paparnya.
Menurutnya, melasti ini untuk kali kedua diselenggarakan di Jolotundo. Namun, tahun ini, upacara itu diikuti umat lebih banyak dibandingkan sebelumnya. Selain itu, melasti kali ini juga cukup berbeda. Karena juga menyuguhkan upacara dengan kearifan lokal Jawa.
Seperti tari remo sebagi pembuka acara dan juga upacara dengan adat Jawa yang Romo Pinandita Margono, pemangku adat Petirtaan Jolotundo. Sudana menyebutkan, melasti merupakan rangkaian awal menyambut Hari Raya Nyepi tahun baru Saka 1940 yang jatuh pada (17/3) nanti.
Meski sempat diguyur hujan, tak mengurangi kekhidmatan umat Hindu untuk mengikuti serangkaian kegiatan Melasti hingga akhir. Dia menambahkan, selesainya acara, masing-masing umat Hindu akan mengembalikan sarana-sarana upacara yang telah disucikan ke pura masing-masing.
Tak berhenti di situ, kegiatan akan disambung dengan tawur agung yang akan diselenggarakan (16/3) nanti di Gelora Gajah Mada Mojosari. Umat Hindu biasanya membuat ogoh-ogoh dengan beragam bentuk. Ogoh-ogoh merupakan simbol dari si jahat dan angkara murka. (NC)
COMMENTS