Pandeglang, Radar Nusantara Oleh : Yudistira Ketua Liga Mahasiswa Nasional Demokrasi (LMND) Pandeglang Baru-baru ini pemerintah telah...
Pandeglang, Radar Nusantara
Oleh : Yudistira Ketua Liga Mahasiswa Nasional Demokrasi (LMND) Pandeglang
Baru-baru ini pemerintah telah menaikkan tarif iuran BPJS Kesehatan sebesar 100%. Kesehatan yang seharusnya menjadi hak dasar masyarakat Indonesia kini telah di komersialisasi. Pemerintah sudah bulat menaikkan iuran program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan tersebut.
Menurut Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo, kenaikan iuran itu akan dilakukan mulai 1 Januari 2020. Akan tetapi temuan dilapangan ternyata kenaikan sudah diterapkan sejak September 2019.
Padahal dari segi pelayanan di lapangan masih banyak kekurangan disana-sini. Banyak rumah sakit yang menolak pasien karena jenis penyakitnya tidak dapat di-cover oleh BPJS, pasien dilempar kesana-sini hingga akhirnya tidak mendapatkan perawatan bahkan tak jarang menelan korban jiwa.
BPJS sebagai badan penyelenggara yang ditunjuk oleh negara,tentu saja wajib bertanggung jawab dalam peningkatan layanan kesehatan masyarakat.Peningkatan bukan hanya pada kuantitas kepesertaan namun juga peningkatan kualitas layanan, menjamin kemudahan akses, dan terjangkau dalam biaya.
Sebagai badan hukum nirlaba, maka BPJS lembaga non profit, suatu lembaga yang dibentuk negara sebagai penyelenggara Jaminan Sosial di bidang kesehatan, namun anehnya pada sisi lain BPJS justru diberi kewenangan untuk menggunakan dana iuran kesehatan untuk pengembangan usaha.
Langkah pemerintah untuk menaikkan iuran BPJS baik Penerima Bantuan Iuran (PBI) maupun mandiri bukanlah jalan keluar dari defisit yang terus terjadi, tetapi justru akan membuat masalah baru. Ini akan menjadi beban tambahan bagi APBN dan APBD dan tentu bagi rakyat. 40.000, 60.000, dan 80.000 rupiah saja tidak mampu dibayar apalagi jika naik? Belum lagi rencana pemerintah yang akan menjadikan penagih layaknya model pembangkang konvensional sebagai tukang tagih bagi penunggak nantinya akan menciptakan konflik baru ditengah masyarakat.
Menteri Keuangan Sri Mulyani juga merencanakan sanksi bagi peserta BPJS yang menunggak yaitu tidak bisa melakukan perpanjangan SIM dan juga tidak bisa mendaftarkan anak sekolah.
Hal ini tentu kebijakan yang tidak etis dari seorang pejabat pemerintahan. Pada saat program Jamkesmas dan Jamkesda masalah layanan kesehatan seperti ini tidak pernah terjadi, layanan tetap bisa dilakukan rumah sakit tidak pernah berteriak tidak dibayar. Bahkan terdapat anggaran sisa dari alokasi APBN dan APBD.
Sudah seharusnya pemerintah melakukan evaluasi dan audit menyeluruh terhadap BPJS sebagai penyelenggara, mulai dari tingkat fasilitas tingkat pertama hingga rujukan sebagai bentuk pertanggung-jawaban atas iuran yang dihimpun dari masyarakat,maupun dari APBN dan APBD bagi PBI (penerima bantuan iuran)
Penetapan kebijakan kenaikan iuran BPJS akan di rasakan oleh semua masyarakat Indonesia, mau tidak mau masyarakat tentu harus menjalankan kebijakan ini, namun yang menjadi masalah apakah masyarakat menyanggupi iuran yang melonjak naik, mungkin bagi kalangan kelompok yang terberdayakan mereka menerima dengan lapang dada karna di bantu oleh Pemerintah, kalangan menengah ke atas pun demikian mungkin mereka menyanggupi dengan kecukupan Ekonomi yang memadai, Namun bagaimana kah nasib kalangan menengah kebawah dengan keterbatasan ekonomi yang kurang.
Melihat Pandeglang berdasarkan Data BPS tahun 2012-2013 tentang Komposisi pekerja di bidang Pertanian 36,38 angka ini merupakan Presentasi terbesar dari kategori yang lain, jika di tinjau dari segi perekonomian berlatar belakang kelas kalangan menengah kebawah, dalam situasi paceklik sekarang ini Ekonomi masyarakat Pandeglang mengalami Kemerosotan akibat dari beberapa faktor yaitu sawah dan ladang kekeringan sehingga mengakibatkan gagal panen dan perlambatan aktivitas Pertanian.
Kemudian dari segi Ketenagakerjaan berdasarkan Data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kabupaten Pandeglang tingkat pengangguran di Kabupaten Pandeglang sebanyak 8,2% atau 68.041 yang terdiri dari laki-laki sebanyak 34.644 orang dan perempuan sebanyak 33.397 orang.
Di tengah sekelumit permasalahan yang terjadi tentu masyarakat membutuhkan sentuhan solusi bukan menambah permasalah dengan menambah beban kehidupan masyarakat.
Dari kebijakan yang tersentral dari Pusat yang berimbas ke daerah, seharusnya Pemerintah Daerah yang di pimpin eksekutif atau Bupati mengambil langkah penolakan terkait kenaikan iuran BPJS ini, bukan berdiam diri serta tak mampu memberikan solusi, artinya dari persoalan-persoalan yang di hadapi.
Kita bisa melihat sejauh mana keberpihakan seorang Bupati sebagai Eksekutif tertinggi di Kabupaten, jika pemimpin yang diamanahkan oleh rakyat tidak berpihak kepada rakyat maka tak pantas rasanya menyandang seorang Pemimpin dan ketika pun mau menjabat kembali rasanya tak pantas memimpin.
Kemudian DPRD sebagai badan yang menaungi aspirasi masyarakat pun di nilai tidak maksimal dalam kerja-kerja kerakyatan terbukti, dari kebijakan ini Peran DPRD di pertanyakan sebagai penyambung lidah rakyat.
Atas persoalan yang di rasa membebani rakyat kelas bawah kami mengecam Pemerintah Pusat untuk segera mencabut Perpres No 75 tahun 2019 tentang Kenaikan Iuran BPJS, mendorong Pemerintah Pusat mengaudit serta mengavaluasi kinerja BPJS yang cenderung di komersialisasi lalu kembali ke Jamkesmas dan Jamkesda, agar terciptanya akses kesehatan yang egaliter, sebagai tanggung jawab negara. *(-).
COMMENTS