Oleh :ARJA (AKTIVIS LEBAK SELATAN) (Opini),- Menjelang Pemilu 2024 politik kembali memanas, media sosial dipenuhi gambar dan video calon kon...
Oleh :ARJA (AKTIVIS LEBAK SELATAN)
(Opini),- Menjelang Pemilu 2024 politik kembali memanas, media sosial dipenuhi gambar dan video calon kontestan politik baik Caleg maupum Capres. Arus informasi baik online maupun ofline dipenuhi berita mengenai politik, tidak jarang pula masyarakat bingung untuk memilih dan memilah informasi yang benar dan banyak pula berita hoax dikonsumsi dipercayai sebagai kebenaran.
Perbedaan pendapat mulai menguat di tengah-tengah masyarakat. Dalam suasana masyarakat demokrasi perbedaan pendapat sesuatu yang normal dan wajar selama tidak menyebabkan perpecahan warga negara dan konflik baik individu maupun sosial. Perbedaan pilihan politik serta perbedaan pendapat politik harus disikapi secara bijaksana, sebab jika tidak niscaya konflik dan perpecahan di dalam masyarakat akan terjadi. Sementara itu kebijaksanaan politik warga begara tidak akan terjadi manakala pendidikan politiknya mumpuni.
Pada masyarakat Indonesia modern saat ini, dimana warga negara bebas menentukan pemimpinnya baik di legislatif maupun eksekutif melalui jalur pemilihan umum, dalam hal ini pemilu.
Pemilu dapat dimaknai sebagai pendidikan politik bagi warga negara indonesia. Di dalam pemilu, warga negara paling tidak diajari tentang etika politik, serta hak dan kewajiban sebagai warga negara berupa hak untuk dipilih ataupun memilih. Hak memilih berarti hak warga negara untuk menentukan pemimpinnya baik di ranah eksekutif maupun legislatif, hak dipilih merupakan hak warga negara untuk menjadikan dirinya sebagai pemimpin baik dalam konteks eksekutif maupun legislatif.
Pokok utama pendidikan politik haruslah meresap kedalam ruang pengetahuan warga negara berupa kesadaran akan hak dan kewajibannya dalam wilayah politik itu. Maka dengan demikian warga negara akan toleransi pada perbedaan pilihan politik dan perbedaan pendapat politik. Dengan kesadaran akan hak dan kewajiban politik tersebut akan menyebabkan warga negara kritis pada informasi politik yang berdatangan di jagat maya dan nyata. Dengan demikian konflik dan perpecahan masyarakat dapat dicegah sedini mungkin.
Pendidikan politik juga berkaitan erat dengan apa yang kita kenal dengan sosialisasi politik. Sosialisasi politik merupakan suatu rangkaian atau proses dimana seseorang memperoleh sikap orientasi terhadap fenomena politik yang ada yang berlaku dimana dia berada. Dalam hal ini partai politik sudah seharusnya berperan sebagai sarana sosialisasi politik. Sosialisasi politik ini akan sangat berpengaruh pada keberhasilan pendidikan politik warga negara. Sosialisasi politik dilakukan oleh partai politik, calon legislatif dan eksekutif termasuk pula penyelenggara pemilu yaitu Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu.
Penulis mengambil ilustrasi pada kasus pemilu 2009 lalu, banyak sudah pelanggaran pemilu di antaranya pelanggaran ringan seperti distribusi alat peraga kampanye yang tidak sesuai, dan kampanye di luar jadwal, hal itu merupakan potret buruk untuk pendidikan warga negara dalam politik.
Selain dari itu pada kasus lain yakni menyangkut korupsi dalam ranah politik terutama di pileg 2019 telah diatur dalam PKPU (Peraturan Komisi Pemilihan Umum); Nomor 20 tahun 2018 yang mengatur larangan mantan terpidana korupsi menjadi calon legislatif (caleg) pada Pemilu. Adapun salah satu latar belakang pelarangan mantan koruptor menjadi caleg yakni terbongkarnya kasus korupsi pada calon kepala daerah yang berkompetisi pada pilkada serentak 2018. Hal ini perlu digaris bawahi merupakan pendidikan politik yang buruk bagi warga negara.
Akan tetapi hal tersebut kemudian memacu perdebatan didalam Pasal 240 ayat (1) huruf (g) UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pasal ini menegaskan, seorang mantan narapidana yang telah menjalani masa hukuman selama lima tahun atau lebih boleh mencalonkan diri selama yang bersangkutan mengumumkan pernah berstatus sebagai narapidana kepada publik.
Selanjutnya, Mahkamah Agung (MA) mencabut Pasal 4 ayat 3 PKPU Nomor 20 tahun 2018. Putusan perkara uji materi itu pada akhirnya membatalkan pasal yang melarang eks terpidana korupsi, bandar narkoba, dan kejahatan seksual pada anak menjadi calon legislatif (Caleg). Selain itu MA juga mencabut Pasal 60 huruf j PKPU Nomor 26 tahun 2018—yang secara gamlang para mantan napi untuk tiga kejahatan tersebut, bisa maju menjadi Caleg DPR/DPRD dan DPD di Pemilu 2019.
Pada akhirnya terjadi konflik peran antara Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU). Artinya KPU tetap pendiriannya pada PKPU No 20 tahun 2018 sedangkan Bawaslu berpegang teguh pada Pasal 240 ayat (1) huruf (g) UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan putusan MA yang mencabut Pasal 4 ayat 3 PKPU Nomor 20 tahun 2018 tersebut, sehingga banyak sudah Bakal Calon Legislatif (Bacaleg) yang tidak diloloskan KPU untuk melanggang pada Pemilu 2019 namun diloloskan oleh Bawaslu. Jika disalahkan maka kasus ini boleh dibilang kesalahan, namun berpijak pada UU yang berlaku pada akhirnya kesalahan tersebut dapat ditoleransi.
Uraian ini jika dilihat dari persepektif pendidikan politik dimana Partai Politik dalam hal ini Calon Legislatif dan Eksekutif, KPU, Bawaslu, hingga MA, memiliki fungsi pendidikan politik bagi warga negara. Tentunya, pendidikan politik ini akan mempengaruhi partisipasi politik warga negara.
Mengaenai partisipasi politik itu, faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya partisipasi politik seseorang ialah kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah (sistem politik). Kesadaran politik merupakan kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara. Kemudian, kepercayaan kepada pemerintah ialah penilaian seseorang terhadap pemerintah yang menilai pemerintah bisa dipercaya dan dapat dipengaruhi atau tidak.
Dari uraian di atas dapat diambil benang merah bahwasanya pendidikan politik warga negara merupakan hal yang sangat penting, bahkan stabilitas nasional khususnya stabilitas politik.
Pendidikan politik dan Pemilu bagaikan dua bilah mata uang yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Dimana pemilu dan hasil-hasilnya dapat dikatakan seluruhnya merupakan pendidikan politik bagi warga negara. Jika pemilunya bersih, jujur, dan adil maka itulah pendidikan politiknya dan juga sebaliknya.
COMMENTS