Radar Nusantara Dalam dinamika politik global, tokoh-tokoh penting sering terlibat dalam kontestasi narasi, baik terkait prestasi maupun kon...
Radar Nusantara
Dalam dinamika politik global, tokoh-tokoh penting sering terlibat dalam kontestasi narasi, baik terkait prestasi maupun kontroversi. Baru-baru ini, Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) menarik perhatian setelah namanya masuk dalam daftar finalis Person of the Year 2024 versi Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) dalam kategori kejahatan organisasi dan korupsi. Selain Jokowi, ada juga nama-nama besar seperti Presiden Kenya William Ruto, Presiden Nigeria Bola Ahmed Tinubu, mantan Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina, dan pengusaha India Gautam Adani (CNN Indonesia, 2024).
Daftar finalis ini disusun melalui partisipasi pembaca, jurnalis, serta jaringan global yang dimiliki oleh OCCRP, yang membuat setiap keputusan yang dipublikasikan tak bisa dianggap enteng. Meskipun Jokowi hanya masuk sebagai finalis, keputusan ini memicu reaksi signifikan, menimbulkan pertanyaan dan kontroversi (Infobankberita, 2024).
Jokowi: "Buktikan Saya Korupsi"
Menanggapi masuknya namanya dalam daftar OCCRP, Jokowi memberikan respons tegas pada 31 Desember 2024 di Rumah Sumber, Solo. "Yang dikorupsi apa? Ya dibuktikan, apa?" ujarnya sambil tertawa, menunjukkan ketidakyakinannya terhadap tuduhan tersebut. Jokowi menambahkan bahwa ia kerap menjadi sasaran framing negatif yang tidak didasari bukti yang jelas. Framing seperti ini, menurutnya, bisa muncul dari berbagai pihak dengan agenda tertentu, seperti organisasi non-pemerintah, partai politik, atau ormas (Detik.com, 2024).
Jokowi berpendapat bahwa tuduhan terhadapnya seringkali datang tanpa substansi yang kuat, bahkan lebih mengarah pada fitnah. Ia menyatakan bahwa saat ini, siapa saja dapat memanfaatkan berbagai "kendaraan" untuk menyerang reputasinya. Fenomena ini, menurutnya, cukup mengganggu, terutama bagi seorang pemimpin negara yang memegang jabatan penting. Dalam dunia politik yang semakin terfragmentasi, kebenaran sering tergerus oleh narasi yang dibentuk berdasarkan kepentingan tertentu.
Politik atau Fakta?
Salah satu hal yang patut diperhatikan dalam kasus ini adalah dimensi politik yang mungkin memengaruhi penilaian terhadap tokoh-tokoh besar.
Apakah daftar OCCRP ini benar-benar didasarkan pada bukti yang akurat, atau ada muatan politis di baliknya? Jokowi, dalam responnya, mempersilakan hal tersebut untuk ditanyakan langsung kepada pihak penyelenggara. Namun, ia menegaskan bahwa saat ini siapa pun bisa menggunakan berbagai saluran untuk menciptakan narasi yang merugikan.
Bagi banyak pengamat, masuknya Jokowi dalam daftar ini mencerminkan tajamnya persaingan politik global dan bagaimana tokoh internasional sering diposisikan dalam konteks tertentu. Apapun hasilnya, hal ini membuka ruang untuk mempertanyakan dasar tuduhan terhadap pemimpin dunia dan bagaimana kita harus memahami dinamika politik yang ada.
Reaksi KPK
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga memberikan tanggapan terkait tuduhan yang ditujukan kepada Jokowi. Sebagai lembaga yang memiliki peran penting dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, KPK menegaskan bahwa setiap warga negara, termasuk Presiden, memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum. Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto, menyatakan bahwa jika ada pihak yang memiliki bukti terkait tindakan korupsi oleh pejabat negara, mereka dipersilakan untuk melaporkannya ke aparat penegak hukum (Kompas.id, 2024).
Pernyataan KPK ini menegaskan bahwa sistem hukum Indonesia mengutamakan transparansi dan akuntabilitas yang tinggi, tanpa terkecuali bagi pemimpin negara. Jika memang ada bukti yang sah, lembaga hukum di Indonesia memiliki mekanisme yang tepat untuk menindaklanjutinya. Hal ini juga mengingatkan bahwa isu korupsi tidak bisa diselesaikan hanya dengan narasi atau opini, tetapi harus didasarkan pada fakta yang dapat dipertanggungjawabkan di hadapan hukum.
Lima Faktor Penyebab Korupsi Struktural di Era Jokowi
Pemberitaan tentang Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang masuk dalam daftar finalis Person of the Year 2024 untuk kategori kejahatan organisasi dan korupsi versi OCCRP memicu perhatian publik. Hal ini membuka ruang diskusi lebih dalam mengenai makna korupsi di zaman modern. Korupsi bukan hanya soal pencurian uang atau suap, tetapi juga mencakup perubahan budaya dan ekosistem negara yang mengarah pada kemunduran moral, sosial, dan hukum (Katadata Nasional.co.id, 2024).
Jokowi, yang dikenal dengan citra anti-korupsi, kini berada dalam sorotan sebagai sosok yang dianggap berperan dalam menciptakan ekosistem koruptif yang lebih sistemik. Pemerintahan Jokowi tidak hanya menciptakan tuduhan korupsi individual, tetapi juga budaya yang meresap ke dalam struktur negara dan masyarakat Indonesia.
Setidaknya ada lima pandangan penulis, terkait hal-ha; yang dinilai berkontribusi pada korupsi yang lebih luas dan struktural di era Jokowi.
Pertama, Pelemahan dan Kemunduran KPK. Simbol Kejatuhan Kekuatan Antikorupsi KPK, yang seharusnya menjadi garda terdepan pemberantasan korupsi, mengalami banyak kendala di bawah kepemimpinan Jokowi. Revisi UU KPK yang diloloskan pada 2019 dianggap melemahkan lembaga ini, memberi ruang bagi praktik korupsi lebih leluasa. Pembatasan kewenangan KPK memperlemah posisi lembaga tersebut dalam menindak korupsi, terutama di level pejabat tinggi. Meskipun Jokowi mengklaim komitmennya dalam pemberantasan korupsi, kenyataannya korupsi struktural tetap subur (Tempo.co, 2024).
Kedua, Indeks Korupsi yang Memburuk. Bukti dari Kegagalan Sistemik Di bawah Jokowi, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia stagnan atau bahkan memburuk, meskipun ada kemajuan di sektor lain seperti ekonomi dan infrastruktur. IPK yang buruk mencerminkan kegagalan sistem pemberantasan korupsi, dengan negara tetangga yang lebih tegas dalam upaya pemberantasan. Hal ini menandakan ketidakmampuan sistem hukum dalam memberantas korupsi yang mengakar di seluruh lini pemerintahan (Sindonews.com, 2024).
Ketiga, Kerusakan Institusi Penegak Hukum. Ketergantungan pada Kekuasaan Politik Korupsi di bawah pemerintahan Jokowi tidak hanya melibatkan pejabat politik tingkat tinggi, tetapi juga merusak institusi penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan. Penurunan kinerja lembaga ini menciptakan impunitas bagi pelaku korupsi. Ketika aparat penegak hukum tak lagi berfungsi independen dan objektif, kepercayaan publik terhadap sistem hukum mulai luntur (Republika Daring, 2023). Jokowi menghadapi kritik tajam karena kurangnya langkah konkret dalam memperkuat integritas institusi penegak hukum yang rentan terhadap intervensi politik.
Keempat, Nepotisme, Kroni Bisnis & Kekuasaan. Mengaburkan Batas Antara Negara dan Bisnis Nepotisme dan kronisme di bawah pemerintahan Jokowi menjadi sorotan utama. Hubungan dekat antara keluarga dan teman-teman bisnis Jokowi dengan proyek-proyek besar pemerintah menunjukkan tumpang tindih antara negara dan kepentingan pribadi. Ini menciptakan budaya di mana keputusan politik didorong oleh kepentingan pribadi dan kelompok tertentu, sementara masyarakat kecil tidak mendapatkan manfaat yang setimpal (Kompas, 2020). Nepotisme dan kolusi ini memperburuk kesenjangan sosial dan memperlihatkan penyalahgunaan kekuasaan untuk memperkaya segelintir orang.
Kelima, Kasus Korupsi sebagai Alat Tawar Politik. Menggambarkan Politik yang Kotor Beberapa kasus korupsi yang terungkap di media di bawah pemerintahan Jokowi dipandang sebagai alat tawar politik, bukan upaya menegakkan hukum. Kasus besar yang melibatkan politisi seringkali digunakan untuk meraih posisi atau kekuasaan, memperburuk persepsi bahwa penegakan hukum tidak sepenuhnya adil dan seringkali terikat dengan tujuan politik tertentu (Tempo.co, 2024). Ketika kasus korupsi menjadi bagian dari permainan politik, kepercayaan publik terhadap keadilan semakin tergerus.
Kelima aspek ini menggambarkan bagaimana pemerintahan Jokowi berkontribusi pada budaya koruptif yang lebih luas dan struktural, di mana korupsi tidak hanya terjadi pada individu, tetapi sudah meresap dalam berbagai lapisan sistem pemerintahan dan hukum di Indonesia.
Membangun Kesadaran Kritis
Kasus Joko Widodo (Jokowi) yang masuk dalam daftar tokoh terkorup versi OCCRP lebih dari sekadar kontroversi tentang apakah ia benar-benar terlibat dalam korupsi atau tidak. Ini menggambarkan sebuah sistem yang, meskipun berusaha tampak bersih, menciptakan ruang bagi budaya koruptif yang mendalam. Korupsi kini tak lagi hanya soal uang, tetapi bagaimana kebijakan dan praktik pemerintahan membentuk ekosistem yang menguntungkan segelintir orang dan merugikan banyak pihak (Liputan6.com, 2024).
Sebagai rakyat, kita harus memahami bahwa pemberantasan korupsi tidak hanya bisa dilihat dari kasus individu, melainkan harus dilihat dari keseluruhan sistem yang ada. Jika sistem ini terus berkembang tanpa ada perbaikan, Indonesia akan terjebak dalam lingkaran korupsi yang merugikan masa depan bangsa. Kini saatnya kita, sebagai masyarakat, bersatu mendesak perubahan yang nyata, berani mengkritisi kebijakan, dan berkomitmen membangun negara yang lebih adil dan bersih.
Tantangan ke Depan
Kasus ini lebih dari sekadar menyangkut Jokowi atau individu lainnya. Ini adalah refleksi dari proses pembelajaran politik yang lebih besar. Di dunia yang semakin kompleks ini, membangun kesadaran politik yang matang dan kesadaran hukum yang kuat sangatlah penting. Bagi masyarakat, ini adalah momen untuk berpikir lebih kritis mengenai tuduhan yang muncul dan memahami bahwa proses hukum adalah satu-satunya jalan untuk menegakkan keadilan.
Bagi dunia politik, ini adalah kesempatan untuk memperkuat mekanisme pengawasan dan transparansi, agar publik tidak mudah terpengaruh oleh informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Terlebih lagi, Indonesia tengah menghadapi periode penting dengan pemilu yang akan datang. Jokowi maupun pemimpin lainnya harus siap diuji di hadapan hukum dan publik.
Akhirnya, apa yang terjadi dengan Jokowi dalam daftar OCCRP ini memberikan gambaran lebih luas tentang bagaimana politik dan hukum berjalan berdampingan. Proses ini akan terus bergulir, dan yang terpenting adalah bagaimana kita sebagai masyarakat menjaga objektivitas dan berpihak pada kebenaran. Sebagai warga negara yang baik, kita harus terus mendukung sistem hukum yang transparan dan akuntabel, serta memastikan bahwa setiap tuduhan dapat dibuktikan dengan bukti yang sah dan jelas.
Tentang penulis:
BUNG EKO SUPRIATNO
Dosen Ilmu Pemerintahan di Fakultas Hukum dan Sosial
Universitas Mathlaul Anwar Banten.
DAFTAR PUSTAKA
Ada 2 Motif Kepentingan Politik 2024 di Balik Pelemahan KPK. (2023). Republika Daring. Diambil dari https://news.republika.co.id/berita/qucxyz484/ada-2-motif-kepentingan-politik-2024-di-balik-pelemahan-kpk
CNN Indonesia. (2024). Mengenal Lembaga OCCRP yang Rilis Daftar Hitam Tokoh Dunia. Diakses dari cnnindonesia.com.
Detik.com. (2024). Tawa Jokowi Saat Ditanya soal Namanya Masuk Tokoh Terkorup Versi OCCRP. Diakses dari detik.com.
Infobankberita. (2024). Jokowi Masuk Daftar Tokoh Dunia Terkorup 2024 Versi OCCRP. Diakses dari infobanknews.com.
Katadata Nasional.co.id. (2024). Korup Paling Banyak Dunia 2024 Versi OCCRP. Diakses dari katadata.co.id.
Kompas.id. (2024). Daftar Tokoh Paling Korup pada 2024 Versi OCCRP. Diakses dari kompas.com.
Kronisme di Era Demokrasi. (2020, 18 Januari). Kompas. Diambil dari https://www.kompas.id/baca/utama/2020/01/18/kronisme-di-era-demokrasi
Liputan6.com. (2024). Tanggapan Jokowi Jadi Finalis Tokoh Terkorup 2024 Versi OCCRP. Diakses dari liputan6.com.
Sindonews.com. (2024). 7 Fakta Masuknya Jokowi ke Daftar Finalis Pemimpin Terkorup Dunia 2024. Diakses dari sindonews.com.
Tempo.co. (2024). Jokowi Jadi Finalis Kejahatan Terorganisasi dan Korupsi 2024. Diakses dari tempo.co.
Tempo.co. (2024). Profil OCCRP yang Memasukkan Jokowi sebagai Finalis Tokoh Kejahatan Terorganisasi dan Korupsi 2024. Diakses dari tempo.co.
Wan
COMMENTS