Gorontalo, RN Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Gorontalo, Cabang Gorontalo Utara (Gorut), Tutun Suaib, SH menilai m...
Gorontalo, RN
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Gorontalo, Cabang Gorontalo Utara (Gorut), Tutun Suaib, SH menilai masyarakat yang melanggar aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tidak bisa diberikan sanksi pidana. Menurutnya, hal tersebut menjadi titik lemah pelaksanaan PSBB.
"Sanksi bisa dijatuhkan oleh Undang-Undang (UU, red), sedangkan peraturan yang diterapkan sebatas Permen (Peraturan Menteri), PP (Peraturan Pemerintah), Pergub (Peraturan Gubernur) tidak bisa menjatuhkan sanksi pidana. Sedangkan sanksi paling tinggi yaitu denda, itu pun dalam bentuk Perda (Peraturan Daerah), tapi bukan Pergub," ujar Tutun, Kamis (14/5/2020).
"Kita ketahui bersama, Pemda (Pemerintah Daerah) dapat ijin PSBB untuk memudahkan megeluarkan Pergub. Sedangkan Indonesia punya tiga Undang-Undang digunakan dalam konteks penanganan Covid-19, yakni Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang Wabah Penyakit dan Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan," sambung Tutun.
Ia menambahkan, jika penerapanya mengacu pada Undang-Undang Wabah Penyakit, ada sanksi pidananya. Tetapi yang diterapkan oleh Pemerintah sekarang bukan itu, melainkan Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan.
"ini yang dijadikan acuan untuk menerbitkannya Peraturan Pemerintah mengenai PSBB, namun tidak merujuk pada Undang-Undang Kesehatan dan Undang-Undang Wabah Penyakit," kata Tutun.
Dirinya menjelaskan, Aparat Penegak Hukum bisa menerapkan sanksi, jika Pemerintah menerapkan karantina wilayah yang diatur dalam Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan. Jika berbicara Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan, sanksi pidana sama sekali tidak ada.
"Dalam PSBB, Polisi bisa dilibatkan apabila Pemerintah memberlakukan karantina wilayah, maka disitulah ada kewenangan Polisi bertindak. Kapolri benar mengeluarkan maklumat, tapi sebatas pengumuman biasa, bukan sebagai perintah tegas yang berkekuatan hukum untuk menjatuhkan sanksi pada pelanggar. Jadi mengumumkan sesuatu harus kita lihat isi maklumat, sebab maklumat sejatinya hanya berbentuk pengumuman, tidak lebih dari itu. Ini bukan suatu perintah yang tegas dan tidak ada sanksi. Kemudian ada resistensi dari masyarakat jika aparat penegak hukum menjalankan tugas, maka aparat penegak hukum tidak punya dasar hukum menguatkan tindakannya," jelas Tutun.
"Jangan kaget ketika ada perlawanan, orang berkumpul, ojek, penjual, apalagi berboncengan berdua diatas motor, lalu dibubarkan dengan paksa dan atau ditindak tegas. Lalu masyarakat mengatakan, apa dasar hukumnya melakukan tindakan pelarangan dan atau pembubaran? Karena yang berlaku hanya PSBB, tapi bukan karantina wilayah. Jadi perlu kita pahami bersama, bahwa apa yang kita jalankan tidak punya dasar hukum dan ini titik lemah diterapkanya Peraturan Pemerintah tentang PSBB," lanjut Tutun.
Lebih lanjut dirinya menjelaskan, dalam Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan Nomor 6 Tahun 2018 telah diatur sanksi pidana, dimana pelanggar diancam pidana penjara maksimal 1 tahun, denda paling banyak 100 juta rupiah. Tetapi sanksi itu hanya bisa diberikan jika diberlakukan karantina wilayah, bukan dalam konteks PSBB, sebab PSBB tidak ada sanksi.
"Seharusnya Pemerintah mengevaluasi penerapan PSBB untuk mengetahui dampak penanganan Covid-19, sebab hal tersebut sangat penting untuk mengetahui dampaknya. Karena tidak ada perbedaan antara penerapan PSBB dan himbauan jaga jarak. Memang tidak terlalu prinsipil perbedaanya, ini hanya pembatasan pergerakan orang dan barang. Yang dapat dilakukan hanya peliburan sekolah, pekerjaan, pembatasan kegiatan ibadah, pertemuan umum, ini tidak begitu mencolok perbedaanya dengan "Social Distancing". Kita harus lihat, apakah PSBB efektif menekan penyebaran Covid 19? kita bisa lihat dari perkembangan pasien positif dan jumlah korban jiwa," urai Tutun.
"Jika PSBB tidak efektif, maka Pemerintah harus mampu mengambil langkah lain, yaitu karantina wilayah. Tapi perlu diketahui karantina wilayah cukup berat, mengingat konsekuensi besar harus ditanggung Pemerintah, terutama tingkat perekonomian dan keberlangsungan hidup masyarakat dalam hal menopang kehidupan sehari-hari," pungkas Tutun. (RRK)
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Gorontalo, Cabang Gorontalo Utara (Gorut), Tutun Suaib, SH menilai masyarakat yang melanggar aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tidak bisa diberikan sanksi pidana. Menurutnya, hal tersebut menjadi titik lemah pelaksanaan PSBB.
"Sanksi bisa dijatuhkan oleh Undang-Undang (UU, red), sedangkan peraturan yang diterapkan sebatas Permen (Peraturan Menteri), PP (Peraturan Pemerintah), Pergub (Peraturan Gubernur) tidak bisa menjatuhkan sanksi pidana. Sedangkan sanksi paling tinggi yaitu denda, itu pun dalam bentuk Perda (Peraturan Daerah), tapi bukan Pergub," ujar Tutun, Kamis (14/5/2020).
"Kita ketahui bersama, Pemda (Pemerintah Daerah) dapat ijin PSBB untuk memudahkan megeluarkan Pergub. Sedangkan Indonesia punya tiga Undang-Undang digunakan dalam konteks penanganan Covid-19, yakni Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang Wabah Penyakit dan Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan," sambung Tutun.
Ia menambahkan, jika penerapanya mengacu pada Undang-Undang Wabah Penyakit, ada sanksi pidananya. Tetapi yang diterapkan oleh Pemerintah sekarang bukan itu, melainkan Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan.
"ini yang dijadikan acuan untuk menerbitkannya Peraturan Pemerintah mengenai PSBB, namun tidak merujuk pada Undang-Undang Kesehatan dan Undang-Undang Wabah Penyakit," kata Tutun.
Dirinya menjelaskan, Aparat Penegak Hukum bisa menerapkan sanksi, jika Pemerintah menerapkan karantina wilayah yang diatur dalam Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan. Jika berbicara Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan, sanksi pidana sama sekali tidak ada.
"Dalam PSBB, Polisi bisa dilibatkan apabila Pemerintah memberlakukan karantina wilayah, maka disitulah ada kewenangan Polisi bertindak. Kapolri benar mengeluarkan maklumat, tapi sebatas pengumuman biasa, bukan sebagai perintah tegas yang berkekuatan hukum untuk menjatuhkan sanksi pada pelanggar. Jadi mengumumkan sesuatu harus kita lihat isi maklumat, sebab maklumat sejatinya hanya berbentuk pengumuman, tidak lebih dari itu. Ini bukan suatu perintah yang tegas dan tidak ada sanksi. Kemudian ada resistensi dari masyarakat jika aparat penegak hukum menjalankan tugas, maka aparat penegak hukum tidak punya dasar hukum menguatkan tindakannya," jelas Tutun.
"Jangan kaget ketika ada perlawanan, orang berkumpul, ojek, penjual, apalagi berboncengan berdua diatas motor, lalu dibubarkan dengan paksa dan atau ditindak tegas. Lalu masyarakat mengatakan, apa dasar hukumnya melakukan tindakan pelarangan dan atau pembubaran? Karena yang berlaku hanya PSBB, tapi bukan karantina wilayah. Jadi perlu kita pahami bersama, bahwa apa yang kita jalankan tidak punya dasar hukum dan ini titik lemah diterapkanya Peraturan Pemerintah tentang PSBB," lanjut Tutun.
Lebih lanjut dirinya menjelaskan, dalam Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan Nomor 6 Tahun 2018 telah diatur sanksi pidana, dimana pelanggar diancam pidana penjara maksimal 1 tahun, denda paling banyak 100 juta rupiah. Tetapi sanksi itu hanya bisa diberikan jika diberlakukan karantina wilayah, bukan dalam konteks PSBB, sebab PSBB tidak ada sanksi.
"Seharusnya Pemerintah mengevaluasi penerapan PSBB untuk mengetahui dampak penanganan Covid-19, sebab hal tersebut sangat penting untuk mengetahui dampaknya. Karena tidak ada perbedaan antara penerapan PSBB dan himbauan jaga jarak. Memang tidak terlalu prinsipil perbedaanya, ini hanya pembatasan pergerakan orang dan barang. Yang dapat dilakukan hanya peliburan sekolah, pekerjaan, pembatasan kegiatan ibadah, pertemuan umum, ini tidak begitu mencolok perbedaanya dengan "Social Distancing". Kita harus lihat, apakah PSBB efektif menekan penyebaran Covid 19? kita bisa lihat dari perkembangan pasien positif dan jumlah korban jiwa," urai Tutun.
"Jika PSBB tidak efektif, maka Pemerintah harus mampu mengambil langkah lain, yaitu karantina wilayah. Tapi perlu diketahui karantina wilayah cukup berat, mengingat konsekuensi besar harus ditanggung Pemerintah, terutama tingkat perekonomian dan keberlangsungan hidup masyarakat dalam hal menopang kehidupan sehari-hari," pungkas Tutun. (RRK)
COMMENTS