Jauh sebelum Amrozi --tetangga rumah kampung halaman saya di Jatim--ngebom di Bali, saya sudah peringatkan intelijen dan ratusan politi...
Jauh sebelum Amrozi --tetangga rumah kampung halaman saya di Jatim--ngebom di Bali, saya sudah peringatkan intelijen dan ratusan politisi di Jabar dan di Jakarta agar mewaspadai bangkitnya radikalisme dan terorisme di Indonesia setelah Rezim Soeharto terjungkal dari singgasana kekuasaannya.
Kenapa saya bisa mengerti akan adanya serbuan para radikalis dan teroris di negeri ini? Ini semua karena ketika saya masih tinggal di luar negeri di awal tahun 90 an, saya hidup bersama orang-orang yang tengah terpapar virus radikalisme yang sangat membahayakan ini. Saya waktu itu sudah merasakan adanya penyimpangan-penyimpangan ajaran agama yang sejatinya sejuk dan indah, telah diplintir oleh kaum ekstrimis menjadi agama yang sangat keras dan penuh kebencian serta aroma permusuhan.
Saya sendiri nyaris terpapar oleh virus radikalisme itu hingga tiada hari selain berpikir bagaimana saya bisa menghabisi orang yang berbeda pemikiran dengan agama kami. Beruntung sekali didikan keluarga saya di masa kecil yang penuh kasih sayang, serta didikan Pesantren Tebuireng yang mengajarkan toleransi dalam perbedaan, saya selamat dari indoktrinasi ajaran-ajaran radikalisme yang membabi buta itu. Saya kemudian malah tertarik untuk mendatangi pemikir-pemikir moderat lintas agama dan lintas bangsa atau negara, dan kami sama-sama saling belajar, berdiskusi bagaimana kita dapat tampil menjadi pencerah dari kesalahpahaman memahami ajaran-ajaran agama yang telah diputar balikkan kebenarannya ini.
Saya salami dan peluk erat sahabat-sahabatku mujahidin Checnya, Bosnia, Turki, Palestina dan Afghanistan. Saya ajak mereka bercanda di celah-celah diskusi kami yang panas. Lalu saya kisahkan pada mereka tentang keharmonisan kehidupan beragama kami di Indonesia, sebelum gerombolan-gerombolan garis keras itu mengacak-acak negeri kami setelah kami pulang kembali ke negeri ini. Mereka bertanya pada saya kenapa di Indonesia--waktu itu tentunya--masyarakatnya sangat rukun meskipun penduduk Indonesia sangat plural. Saya jawab: karena Indonesia mempunyai Pancasila yang dicetuskan oleh para ulama dan para pemikir lintas agama yang sama-sama ikhlas mencari titik temu bagaimana mereka bisa hidup berdampingan dengan segala perbedaannya.
Indonesia ketika itu--di tahun 90 an dan sebelumnya--memiliki cendekiawan-cendekiawan muslim terkemuka berkelas dunia. Ada Gus Dur, Prof. Nurcholish Madjid, Prof. Harun Nasution, Prof. HM. Immaduddin Abdurrahim, Dr. Kuntowidjoyo, Prof. Azzumardi Azra, Prof. Komaruddin Hidayat, Prof. Quraish Sihab dll. Sedangkan di agama lain juga terdapat para cendekiawannya yang arif dan bijaksana, seperti Romo Mangun Widjaya, Dr. Ignas Kleden, Prof. Frans Magnis Suseno dll. Dengan dipenuhinya Indonesia oleh para cendekiawan yang bermutu seperti itu, kehidupan demokrasi di Indonesia menemukan keemasannya. Rezim Soeharto boleh kacau, amburadul, tetapi rakyat tetap bersatu padu dan tidak terjadi gesekan apapun atas nama perbedaan agama dan keyakinan.
Namun sayang sekali, semenjak Amien Rais mulai manggung di pentas politik Indonesia dari sebelumnya yang hanya jadi tukang bawa map Ketum ICMI Prof. BJ. Habibie, dan yang kemudian berkomplot dengan Prabowo dan Fadli Zon yang merupakan musuh-musuhnya sendiri dalam Gerakan Reformasi 98, keadaan Indonesia yang semula mulai tenang jadi gaduh dan rusuh kembali. Dan keadaan ini semakin parah, terus bertambah parah ketika Amien Rais sudah bersekutu dengan kelompok radikal yang gemar mengangkat orang-orang yang tak memiliki integritas dan kapasitas ulama atau kecendekiawanan menjadi pemimpin-pemimpinnya, yang kemudian populer dengan istilah Ulama atau Ustadz Dadakan.
Akhir tahun 1997 atau awal tahun 1998 saya sudah memiliki kecurigaan pada perangai busuk Amien Rais ini, hingga saya pernah mengingatkan sahabat saya Pius Lustrilanang sesaat setelah ia keluar dari tragedi penculikannya:"Pius, jika kau masih menganggap aku sebagai sahabatmu, segeralah kamu keluar dari barisan Amien Rais dan pindahlah ke partai lain yang lebih steril". "Kenapa?" Tanya Pius kembali. "Karena saya melihat ada yang konslet dari pemikiran Amien Rais. Dia saat ini sedang menyamun sebagai tokoh moderat, namun kelak dia akan mulai menunjukkan wajah aslinya sebagai bagian dari kelompok radikal". Jawabku. Karena itu Pius keluar dari PAN lalu pindah ke PDIP dan setelah terjadi gesekan dengan teman saya Budiman Sudjatmiko, Pius melompat ke GERINDRA cetusan orang yang pernah menculiknya. Ini namanya keluar dari mulut kadal masuk ke mulut buaya. Prihatin sekali.
Beruntung Prof. BJ. Habibie tokoh kharismatik cendekiawan muslim itu dari awal mendukung dan membentengi Presiden Jokowi dengan segenap kemampuan intelektualnya, hingga kaum muslimin Indonesia selamat dari penggiringan opini yang dibangun oleh Amien Rais bersama gerombolannya. Beruntung pula NU dan Muhammadiyah tetap setia pada Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika, serta bersedia menjadi supervisor Pemerintahan Jokowi hingga Republik Indonesia dapat terselamatkan dari gerakan para pengacau kehidupan beragama dan berkebangsaan. Allah SWT nampaknya sangat mencintai Republik Indonesia yang di dalamnya penuh riwayat jejak langkah para Waliyullah dan para rohaniawan bijak dari berbagai agama yang pernah hidup dan berjuang di Tanah air ini. Alhamdulillah...Wallahu a'lam bisshawab...(SHE).
26 Mei 2019. Saiful Huda Ems (SHE). Advokat dan Penulis, alumnus Pondok Pesantren Tebuireng Jombang (1984-1991) serta mantan Petarung Politik di Berlin Jerman (1991-1995).
COMMENTS