Gorontalo, RN Terkait penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Provinsi Gorontalo, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Komunita...
Gorontalo, RN
Terkait penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Provinsi Gorontalo, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Komunitas Independen Bersama Azaz Rakyat (KIBAR) Provinsi Gorontalo meminta Pemerintah lebih mengutamakan dampak dari pada penerapannya. Pasalnya, dampak dari penerapan PSBB di Provinsi Gorontalo mengakibatkan sebagian besar masyarakat kehilangan mata pecaharian. Sementara kebutuhan masyarakat, baik pangan bahkan beban hidup lainnya, diantaranya hutang yang menjadi beban dan sangat membebani.
"Kami sangat apresiasi upaya pemerintah memutus mata rantai penyebaran pandemi Covid-19 ini, baik di tingkat Provinsi, hingga ke Kabupaten/Kota yang saat ini gencar-gencarnya dilaksanakan. Namun demikian, adanya penerapan PSBB ini sangat membatasi aktivitas masyarakat, sehingga sangat berdampak pada perekonomian masyarakat," ujar Ketua LSM KIBAR Provinsi Gorontalo, Hengki Maliki kepada Media ini, Sabtu (9/5/2020).
"Sehingga, kami meminta Pemerintah mendahulukan kebutuhan masyarakat dalam penerapan PSBB ini. Sejumlah pasar ditutup, aktivitas UMKM dibatasi hingga jam 5 sore sangat berdampak pada perekonomian. Sehingga, Pemerintah perlu mengkaji lagi soal kebutuhan masyarakat apakah sudah terpenuhi. Jangan sampai upaya baik Pemerintah ini jadi musibah bagi sebagian besar masyarakat karena lumpuhnya ekonomi masyarakat akibat penerapan PSBB tanpa solusi, sementara beban masyarakat meningkat dan aktivitas dibatasi," sambung Hengki.
Ia menambahkan, berdasarkan PP Nomor 21 Tahun 2020 Pasal 1, dijelaskan bahwa PSBB adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). PSBB dilakukan untuk mencegah kemungkinan penyebaran Virus Corona. Sementara untuk aturan penerapan PSBB sendiri tertuang dalam aturan PMK Nomor 9 Tahun 2020.
"Dimana, dalam Pasal 2 dijelaskan bahwa untuk dapat ditetapkan PSBB, suatu wilayah Provinsi/Kabupaten/Kota harus memenuhi 2 kriteria. Kriteria tersebut yakni, jumlah kasus atau jumlah kematian akibat penyakit meningkat dan menyebar secara signifikan dan cepat ke beberapa wilayah, serta terdapat kaitan epidemiologis dengan kejadian serupa di wilayah atau negara lain," jelas Hengki.
Lebih lanjut dirinya menjelaskan, penerapan PSBB disejumlah daerah telah disosialisasikan disejumlah media, baik yang disampaikan Presiden RI, serta para Menteri tentang sistem penerapannya, beserta dampak yang harus dipersipakan Pemerintah Daerah yang mengusulkan PSBB sebagai salah satu upaya memerangi Virus Corona di Indonesia melalui sebuah rapat terbatas Kabinet yang diadakan pada 31 Maret 2020. Pemerintah menjadikan PSBB sebagai mitigasi faktor risiko di wilayah tertentu pada saat terjadi kedaruratan kesehatan masyarakat.
"Kebijakan ini merujuk pada UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan yang penetapannya akan dikoordinasikan antara Menteri Kesehatan, Gugus Tugas Covid-19, juga Kepala Daerah. PSBB dilakukan atas dasar pertimbangan epidemiologis, besarnya ancaman, efektivitas, dukungan sumber daya, teknis operasional, pertimbangan ekonomi, sosial, budaya dan keamanan," urai Hengki.
"Ada syarat-syarat tertentu bagi sebuah daerah jika ingin mengimplementasikan kebijakan PSBB di wilayahnya. Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri Safrizal menyebutkan, ada beberapa persyaratan yang jika semua terpenuhi maka akan menjadi pertimbangan Menteri Kesehatan untuk memberikan izin PSBB di wilayah tersebut. Syarat-syarat itu adalah mempersiapkan data pendukung yang diperlukan, misalnya peningkatan kasus berdasarkan waktu dan kurva epidemiologi Covid-19 di daerah lain yang berpengaruh signifikan terhadap infeksi di daerahnya," lanjut Hengki.
Selain itu, kata Hengki, Pemda yang ingin mengajukan PSBB juga diminta untuk menyiapkan peta penyebaran Covid-19 dan data kejadian transmisi virus yang bersifat lokal. Daerah juga diminta memberikan hasil pelacakan atas penyelidikan epidemiologi yang menyatakan ada penularan dari generasi kedua dan ketiga. Pertimbangan lainnya, Pemda harus berhitung dan memastikan memiliki ketersediaan kebutuhan dasar hidup bagi warga. Sarana prasarana kesehatan seperti ketersediaan ruang isolasi, karantina, tempat tidur dan alat kesehatan lainnya, seperti masker dan APD juga menjadi pertimbangan pemberlakukan PSBB.
"Terakhir, sesuai arahan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Pemda harus melakukan realokasi anggaran," pungkas Hengki. (RRK)
Terkait penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Provinsi Gorontalo, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Komunitas Independen Bersama Azaz Rakyat (KIBAR) Provinsi Gorontalo meminta Pemerintah lebih mengutamakan dampak dari pada penerapannya. Pasalnya, dampak dari penerapan PSBB di Provinsi Gorontalo mengakibatkan sebagian besar masyarakat kehilangan mata pecaharian. Sementara kebutuhan masyarakat, baik pangan bahkan beban hidup lainnya, diantaranya hutang yang menjadi beban dan sangat membebani.
"Kami sangat apresiasi upaya pemerintah memutus mata rantai penyebaran pandemi Covid-19 ini, baik di tingkat Provinsi, hingga ke Kabupaten/Kota yang saat ini gencar-gencarnya dilaksanakan. Namun demikian, adanya penerapan PSBB ini sangat membatasi aktivitas masyarakat, sehingga sangat berdampak pada perekonomian masyarakat," ujar Ketua LSM KIBAR Provinsi Gorontalo, Hengki Maliki kepada Media ini, Sabtu (9/5/2020).
"Sehingga, kami meminta Pemerintah mendahulukan kebutuhan masyarakat dalam penerapan PSBB ini. Sejumlah pasar ditutup, aktivitas UMKM dibatasi hingga jam 5 sore sangat berdampak pada perekonomian. Sehingga, Pemerintah perlu mengkaji lagi soal kebutuhan masyarakat apakah sudah terpenuhi. Jangan sampai upaya baik Pemerintah ini jadi musibah bagi sebagian besar masyarakat karena lumpuhnya ekonomi masyarakat akibat penerapan PSBB tanpa solusi, sementara beban masyarakat meningkat dan aktivitas dibatasi," sambung Hengki.
Ia menambahkan, berdasarkan PP Nomor 21 Tahun 2020 Pasal 1, dijelaskan bahwa PSBB adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). PSBB dilakukan untuk mencegah kemungkinan penyebaran Virus Corona. Sementara untuk aturan penerapan PSBB sendiri tertuang dalam aturan PMK Nomor 9 Tahun 2020.
"Dimana, dalam Pasal 2 dijelaskan bahwa untuk dapat ditetapkan PSBB, suatu wilayah Provinsi/Kabupaten/Kota harus memenuhi 2 kriteria. Kriteria tersebut yakni, jumlah kasus atau jumlah kematian akibat penyakit meningkat dan menyebar secara signifikan dan cepat ke beberapa wilayah, serta terdapat kaitan epidemiologis dengan kejadian serupa di wilayah atau negara lain," jelas Hengki.
Lebih lanjut dirinya menjelaskan, penerapan PSBB disejumlah daerah telah disosialisasikan disejumlah media, baik yang disampaikan Presiden RI, serta para Menteri tentang sistem penerapannya, beserta dampak yang harus dipersipakan Pemerintah Daerah yang mengusulkan PSBB sebagai salah satu upaya memerangi Virus Corona di Indonesia melalui sebuah rapat terbatas Kabinet yang diadakan pada 31 Maret 2020. Pemerintah menjadikan PSBB sebagai mitigasi faktor risiko di wilayah tertentu pada saat terjadi kedaruratan kesehatan masyarakat.
"Kebijakan ini merujuk pada UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan yang penetapannya akan dikoordinasikan antara Menteri Kesehatan, Gugus Tugas Covid-19, juga Kepala Daerah. PSBB dilakukan atas dasar pertimbangan epidemiologis, besarnya ancaman, efektivitas, dukungan sumber daya, teknis operasional, pertimbangan ekonomi, sosial, budaya dan keamanan," urai Hengki.
"Ada syarat-syarat tertentu bagi sebuah daerah jika ingin mengimplementasikan kebijakan PSBB di wilayahnya. Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri Safrizal menyebutkan, ada beberapa persyaratan yang jika semua terpenuhi maka akan menjadi pertimbangan Menteri Kesehatan untuk memberikan izin PSBB di wilayah tersebut. Syarat-syarat itu adalah mempersiapkan data pendukung yang diperlukan, misalnya peningkatan kasus berdasarkan waktu dan kurva epidemiologi Covid-19 di daerah lain yang berpengaruh signifikan terhadap infeksi di daerahnya," lanjut Hengki.
Selain itu, kata Hengki, Pemda yang ingin mengajukan PSBB juga diminta untuk menyiapkan peta penyebaran Covid-19 dan data kejadian transmisi virus yang bersifat lokal. Daerah juga diminta memberikan hasil pelacakan atas penyelidikan epidemiologi yang menyatakan ada penularan dari generasi kedua dan ketiga. Pertimbangan lainnya, Pemda harus berhitung dan memastikan memiliki ketersediaan kebutuhan dasar hidup bagi warga. Sarana prasarana kesehatan seperti ketersediaan ruang isolasi, karantina, tempat tidur dan alat kesehatan lainnya, seperti masker dan APD juga menjadi pertimbangan pemberlakukan PSBB.
"Terakhir, sesuai arahan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Pemda harus melakukan realokasi anggaran," pungkas Hengki. (RRK)
COMMENTS