Penulis : Rosnawati radjaman Makasar, RN Seyogyanya negara hukum, dalam menjalankan tugas pemerintahan dilakukan berdasarkan prinsip suprema...
Penulis : Rosnawati radjaman
Makasar, RN
Seyogyanya negara hukum, dalam menjalankan tugas pemerintahan dilakukan berdasarkan prinsip supremasi hukum, dengan demikian setiap perbuatan yang dilakukan oleh pemerintah harus sejalan dengan hukum yang ada.
Namun, dalam kondisi seperti ini melahirkan sebuah antitesis bahwa perbuatan pemerintah yang di luar dari itu termasuk bukan wewenang, melampaui wewenang, atau sewenang-wenang.
Diketahui, bahwa suatu kekuasaan tanpa pembatasan, maka arah yang dituju oleh pemerintahan hanya kepentingan pribadi dan golongan tertentu semata.
Hal ini berbeda dengan kondisi pemerintahan yang menganut sistem suatu kewenangan yang penguasanya tanpa batas, atau dikenal Monarki Absolut, raja adalah hukum itu sendiri.
Dalam pemerintahan desa, posisi kepala desa bukan sebagai raja di wilayah tersebut, yang dapat menjalankan pemerintahan atas sekehendaknya saja.
Akan tetapi dalam pengangkatan dan pemberhentian perangkat desa, melibatkan intuisi berupa Like And this Like dengan mengesampingkan aturan adalah perbuatan yang tidak dapat dibenarkan.
Kondisi seperti inilah adalah bentuk penyakit Nepotisme, pengisian jabatan di pemerintahan yang didasarkan pada hubungan bukan pada kemampuan.
Berakibat paling sederhana yang dapat ditimbulkan oleh praktek pengisian jabatan seperti ini dalam aspek pelayanan publik adalah adanya potensi Mall Administrasi dalam pemberian layanan akibat petugas yang tidak kompeten.
Seperti halnya yang terjadi di desa, perangkat desa merupakan unsur penyelenggara pemerintahan desa yang bertugas membantu kepala desa melaksanakan tugas dan wewenangnya pada penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat di desa.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan perangkat desa berada pada kepala desa, akan tetapi pelaksanaan wewenang tersebut tentunya harus sesuai dengan mekanisme yang telah diatur.
Perangkat desa tunduk pada ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 67 Tahun 2017, atas perubahan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 83 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa.
Hal ini demi memastikan pengangkatan dan pemberhentian perangkat desa dilakukan secara teruji dan terukur bukan atas perasaan suka dan tidak suka kepada orang tertentu.
Berdasarkan Permendagri tersebut diatur perangkat desa berhenti karena meninggal dunia, permintaan sendiri, atau diberhentikan. Khusus untuk pemberhentian perangkat desa karena diberhentikan.
Ini telah diatur dengan jelas tata cara yakni dengan terlebih dahulu melakukan konsultasi kepada Camat dan memperoleh rekomendasi Camat secara tertulis dengan berdasar pada alasan pemberhentian sesuai syarat yang diatur dalam Pasal 5 ayat (3).
Dengan menjalankan mekanisme tersebut secara taat dan patuh,seharusnya pemberhentian perangkat desa tidak menjadi persoalan atau substansi pengaduan.
Melalui Permendagri tersebut pula penyakit nepotisme dalam pengisian jabatan pada perangkat desa sesungguhnya dapat dicegah, dikurangi dan disembuhkan.
Sebagaimana adagium hukum lex semper dabit remedium (hukum selalu memberi obat). Tapi tetap saja masih ada pihak-pihak yang menolak untuk sembuh dan justru merasa semakin mapan dalam jabatannya jika berhasil melabrak aturan.
Akibatnya konsentrasi pemerintah desa yang harusnya terfokus pada maksimalisasi pelayanan kepada masyarakat di desa justru buyar karena harus menyelesaikan pengaduan terkait pengisian jabatan perangkat desa.
Tidak dipungkiri bahwa menjalankan roda pemerintahan Desa tentu sedikit banyak dipengaruhi pula dengan siapa sang kepala Desa mengayuh. Kepala Desa tentu berhak memilih siapa saja yang menjadi partner dalam bekerja melalui penempatan pada perangkat desa, memilih pihak yang dianggap dapat sejalan dengan visi dan misinya agar tercapai pemerintahan desa yang lebih baik.
Akan tetapi hal tersebut tidak dapat mengesampingkan kewajiban kepala desa untuk melakukan pengangkatan dan pemberhentian perangkat desa serta sesuai dengan alur prosedur yang telah diatur.
Justru di sinilah ujian pertama seorang kepala Desa, menunjukkan profesionalismenya, menjamin bahwa tidak terdapat konflik kepentingan yang dapat mengacaukan sistem pemerintahan.
Sementara itu, peran Dinas PMD dan Camat yang bekerjasama (Sinergitas) satu sama lain sebagai organisasi perangkat daerah yang membidangi urusan masyarakat dan desa dengan pemerintah Desa diharapkan terbangun dengan baik, dengan memaksimalkan kegiatan pendampingan dan supervisi agar pelantikan kepala desa terpilih tidak lagi disusul dengan perombakan perangkat desa secara serta merta tanpa memperhatikan alur prosedur yang seharusnya.
Jangan sampai esensi pemerintahan desa bergeser dari yang seharusnya mendekatkan pelayanan kepada masyarakat justru menjadi mendekatkan penyalahgunaan wewenang dengan hadirnya nuansa raja-raja kecil di daerah.
Selain itu, peran serta camat sebagai perangkat daerah yang mempunyai tugas di antaranya untuk membina dan mengawasi kegiatan desa sebagaimana diatur dalam Pasal 50 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah dapat pula dilakukan dalam bentuk monitoring.
Melihat fakta bahwa masih ada kepala Desa yang mengganti perangkat desa tanpa berkonsultasi dan rekomendasi tertulis dari camat cukup mencerminkan bahwa dibeberapa momen camat masih saja kecolongan tahap administratif tersebut.
Sehingga kelengahan camat setempat dalam melakukan monitoring akan berdampak pada ketidak disiplinan kepala desa dalam menjalankan aturan terkait pengangkatan dan pemberhentian perangkat Desa.
COMMENTS