Ocit Abdurrosyid Siddiq Penulis adalah putra Binuangeun Dulu, masa kecil saya, di era tahun 80an, hidup di kampung. Kampung Binuangeun Desa...
Ocit Abdurrosyid Siddiq
Penulis adalah putra Binuangeun
Dulu, masa kecil saya, di era tahun 80an, hidup di kampung. Kampung Binuangeun Desa Muara Kecamatan Malingping Kabupaten Lebak. Kini, masuk wilayah Kecamatan Wanasalam. Binuangeun merupakan kampung pesisir. Warganya mayoritas berprofesi sebagai nelayan.
Waktu itu, lazimnya anak kecil di kampung nelayan, saya dan kawan-kawan sepermainan, dalam keseharian tidak lepas dari aktifitas rutin; berenang, memancing, dan “nguras”. Nguras adalah membantu nelayan membersihkan perahu ketika mereka datang dari melaut atau mencari ikan.
Setiap pagi, sebelum kami berangkat ke sekolah, kami nongkrong di pelelangan. Pelelangan ikan. Diatas dermaga, kami menanti datangnya perahu. Dari kejauhan, kami sudah bisa menebak, perahu apa dan milik siapa yang datang. Kami sudah punya “kurasan” perahu masing-masing.
Hal yang paling membahagiakan kami adalah bila melihat perahu hampir tenggelam saat melintasi muara di Karang Malang. Hampir tenggelam itu pertanda sarat dengan muatan. Ya, sarat dengan ikan tangkapan nelayan. Kami menyebutnya dengan istilah “along”.
Saat perahu merapat ke dermaga, dengan cekatan saya dan kawan-kawan meloncat ke atas perahu. Lalu turut membantu nelayan mengangkut ikan yang sudah diikat dengan tali dari bambu. Satu ikat terdiri dari 10 ekor ikan. Sementara ikan dalam ukuran besar cukup digotong satu persatu. Semua dibawa ke pelelangan.
Saat para nelayan, pemilik perahu, dan calon pembeli berkumpul di pelelangan untuk bersama menyaksikan proses lelang, kami bertugas membersihkan perahu. Menyiramnya, menggosoknya, dan menguras air yang menggenang di kabin perahu. Mengurasnya bisa pakai pompa, atau “ditau”.
Atas jasa menguras perahu, biasanya kami dapat imbalan. Upah itu berupa satu genceng ikan. Ikan yang kami dapatkan, biasanya dibawa pulang. Untuk dimasak di rumah. Tapi kami kadang menjualnya di pasar. Uangnya kami pakai untuk jajan di sekolah.
Bila uang hasil penjualan ikan yang kami dapat dari upah nguras perahu sudah di tangan, kami pulang. Mandi, sarapan, dan berangkat sekolah. Jadi, jajan kami tidak selalu dari pemberian orang tua. Tapi dari hasil keringat kami sendiri; nguras perahu.
Saat itu, proses jual beli ikan tidak dengan cara ditimbang atau dikilo. Tapi cukup dengan gencengan. Gencengan itu, ya itu tadi; 10 ekor ikan diikat dengan tali yang dimasukkan lewat mulut dan rahangnya. Jual-beli kadang dengan cara barter; ikan ditukar dengan barang lain. Seperti beras, pisang, dan lainnya.
Karena dijual dengan cara bukan ditimbang atau dikilo, maka tidak ada standar harga. Yang penting, saat ikan gencengan tadi ditawarkan, pembeli melihat langsung dan melakukan penawaran. Bila harga telah disepakati, maka proses jual-beli terjadi.
Hal yang paling mengesankan adalah bila jaring tangkapan berhasil menangkap kepiting atau rajungan. Waktu itu, kepiting tidak ada harganya. Malah dianggap sebagai hama. Karena bila sudah kena jaring, sulit untuk dilepaskan. Akibatnya, jaring ikan menjadi rusak.
Kami, para tukang kuras inilah yang kebagian berkah. Usai membersihkan perahu, anak-anak kuras inilah yang mencopoti kepiting dari jaring. Kerap bisa dapat kepiting hingga satu ember. Hama itu kami bawa ke rumah. Karena hampir tiap rumah ada kepiting, biasanya kami jadikan sebagai pakan hewan piaraan. Parab ayam dan bebek.
Tapi, yang paling mengesankan adalah bila jaring ikan berhasil menangkap udang. Sama seperti kepiting, waktu itu udang juga belum memiliki harga yang baik. Udang belum dianggap setara apalagi melebihi harga ikan. Bahkan udang juga sama seperti kepiting; dianggap sebagai hama. Hama bagi jaring.
Jadi, tak aneh bila masa kecil kami waktu itu berlimpah dengan udang. Udang bagi kami menjadi makanan rutin, makanan biasa. Bukan makanan mewah. Bukan makanan aneh. Bukan makanan prestisius, seperti yang kita kenal sekarang; sebagai makanan bonafid di restoran dan hotel-hotel di kota besar.
Waktu itu belum ada larangan penangkapan udang dalam berbagai ukuran berapapun. Nelayan bukan saja leluasa dan bebas menangkapnya. Bahkan, ya itu tadi seperti yang saya tulis diatas. Bahkan udang tidak diharapkan nyangkut di jaring karena dianggap hama; bisa merusak benang-benang jaring.
Udang mulai memiliki harga setelah masuknya para pengusaha dari kota ke kampung kami. Mereka juga lah yang kemudian mengenalkan timbangan atau kiloan dalam transaksi jual beli ikan. Sejak mereka datang ke kampung kami, ikan, udang, dan kepiting, mulai memiliki harga.
Udang yang selama ini kami dapatkan dengan mudah dan menjadi santapan rutin kami, perlahan mulai menghilang. Bukan hilang karena tidak didapatkan oleh nelayan di laut. Tapi karena langsung dijual oleh nelayan sendiri kepada para pengusaha. Anak kuras tak lagi terlihat mencopoti hama itu dari jaring.
Seiring perkembangan waktu, harga udang semakin melambung. Kini, bukan hanya anak kuras yang tidak bisa menyantapnya. Bahkan nelayan, pemilik perahu, dan pengusaha ikan lokal juga sudah jarang menyantap udang. Setiap dapat udang, langsung dijual dan diangkut ke kota. Hama itu kini harganya mahal.
Karena harga udang sangat menggiurkan, banyak nelayan yang kemudian beralih cara. Yang tadinya melaut untuk mencari ikan, kini membuat alat tangkap udang. Bangkrak namanya. Bangkrak itu sejenis bagan tapi berukuran lebih kecil dari bagan.
Bangkrak ini menjadi media alat tangkap udang. Bukan udang yang sudah layak dikonsumsi. Tapi untuk menangkap anak udang. Benur namanya. Harga benur sama gengsinya dengan udang besar. Masih lebih mahal dibanding ikan. Bila harga sedang baik, binatang seukuran ujung jarum jahit itu bisa mencapai 17.00 per ekornya!
Karena banyak nelayan jaring ikan yang beralih menjadi nelayan bangkrak penangkap benur, berdampak terhadap kondisi ekonomi warga kampung kami. Benur menjadi berkah. Banyak orang kaya baru. Indikator itu amat kentara; Ninja 250 banyak berseliweran di kampung kami.
Ketika Susi Pudjiastuti jadi menteri, keluar larangan untuk menangkap benur. Udang yang masih kecil tidak boleh ditangkap. Bila ada nelayan dapat udang dengan ukuran dibawah 200 gram, wajib dilepaskan kembali ke lautan.
Kebijakan itu sejatinya bagus. Sebagai cara untuk menjaga ketersediaan, kelestarian, dan keberlanjutan. Tapi regulasi itu menjadi pukulan telak bagi nelayan penangkap benur. Tak tanggung. Bagi yang ketahuan menangkap benur, bisa berurusan dengan hukum.
Menangkap benur bisa dipidana. Tragedi perusakan Mapolsek Bayah beberapa waktu lalu menjadi salah satu contohnya. Karena dilarang, sebagian diantara mereka masih melakukannya. Tentu saja dengan cara rahasia dan tersembunyi.
Saat Bu Susi sudah tidak jadi menteri, lalu diganti oleh Edy Prabowo, ada kelonggaran aturan. Benur boleh diekspor, diperjual-belikan. Tersirat makna bahwa boleh juga ditangkap. Nelayan di kampung kami bergairah kembali. Bangkrak kembali marak.
Ketika pertengahan pekan ini ada kabar bahwa KPK menangkap Pak Menteri, karena dugaan suap yang berkaitan dengan ekspor benur, lalu berpotensi keluarnya regulasi memperketat kembali aturan ekspor, jual-beli, dan penangkapan benur, semoga bangkrak kami tidak kembali mangkrak.
[Roby RN].
COMMENTS