Bangka Selatan, RK Desa Pergam, Kecamatan Airgegas, Kabupaten Bangka Selatan, menjadi sorotan publik karena konflik agraria yang memperlihat...
Bangka Selatan, RK
Desa Pergam, Kecamatan Airgegas, Kabupaten Bangka Selatan, menjadi sorotan publik karena konflik agraria yang memperlihatkan wajah suram administrasi pertanahan di Indonesia. Sengketa tanah yang melibatkan keluarga Ibu Jamik Binti Balkin dan keluarga Bapak Sutaryo alias Dayen tidak hanya mencerminkan ketidakjelasan hukum, tetapi juga membuka peluang bagi mafia tanah untuk mengambil alih tanah secara ilegal.
Ketidakpastian Administrasi Pertanahan
Ketidakjelasan status hukum tanah di Desa Pergam menjadi salah satu akar permasalahan utama. Dalam kondisi ini, mafia tanah memanfaatkan celah hukum untuk memperjualbelikan tanah negara secara ilegal. Mereka sering kali melibatkan oknum masyarakat untuk menguasai lahan dengan cara diperjualbelikan tanpa hak. Praktik semacam ini tidak hanya merugikan para petani, tetapi juga menyebabkan tanah yang sebelumnya produktif kehilangan fungsi utamanya. Akibatnya, petani yang telah bertahun-tahun memanfaatkan tanah untuk bercocok tanam tersingkir dari lahan mereka sendiri.
Salah satu warga Desa Pergam pernah menyampaikan, "Kalau memang lahan kosong atau tanah negara bisa diperjualbelikan, kami juga mau menjualnya. Kami juga maulah kayo." Pernyataan ini mencerminkan frustrasi masyarakat atas ketidakadilan dan ketidakpastian hukum yang mereka alami.
Peran Pemerintah Desa
Sebagai respons, Pemerintah Desa Pergam berupaya menjadi penengah melalui musyawarah yang melibatkan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Mediasi yang dilakukan pada 23 Desember 2024 belum membuahkan hasil, sehingga direncanakan survei lokasi pada 6 Januari 2025. Meski demikian, kurangnya dukungan teknis dari pemerintah daerah dan lemahnya pengawasan memperparah situasi. Mafia tanah semakin leluasa, sementara masyarakat yang kehilangan hak atas tanah mereka semakin terpinggirkan.
Pandangan Ahli Hukum
Sulastio Setiawan, S.H., M.H., Ketua Lembaga Bantuan Hukum Pembela Hak Petani dan Kehutanan (LBH PHPK), menyatakan bahwa pemerintah harus segera memberikan perlindungan hukum kepada petani. “Petani seperti di Desa Pergam, yang telah memanfaatkan lahan selama puluhan tahun, kini kehilangan haknya akibat ketidakpastian hukum dan lemahnya penegakan terhadap mafia tanah,” ujarnya. Sulastio juga menekankan perlunya langkah jangka panjang seperti program sertifikasi tanah dan edukasi kepada masyarakat untuk melawan praktik ilegal.
Dampak Sosial dan Ekonomi
Proses tersingkirnya petani tidak hanya merusak struktur sosial masyarakat, tetapi juga menghancurkan ekosistem pertanian lokal. Tanah yang sebelumnya digunakan untuk perkebunan berkelanjutan kini dialihfungsikan, sering kali tanpa memberikan manfaat bagi masyarakat luas. Selain itu, konflik berkepanjangan memperburuk hubungan sosial antarwarga, menciptakan ketegangan yang sulit diatasi.
Rekomendasi dan Harapan
Untuk mengatasi konflik agraria ini, diperlukan langkah-langkah strategis:
Penyelesaian Konflik Secara Transparan
Pemerintah desa, dengan dukungan pemerintah daerah, harus memastikan musyawarah dan survei lokasi melibatkan semua pihak terkait.
Penindakan Tegas terhadap Mafia Tanah
Aparat penegak hukum harus menindak tegas pelaku jual beli tanah ilegal, termasuk oknum yang terlibat dalam praktik ini.
Percepatan Sertifikasi Tanah
Program sertifikasi tanah bagi masyarakat yang telah memanfaatkan lahan selama puluhan tahun harus menjadi prioritas.
Peningkatan Kapasitas Aparatur Desa
Aparatur desa perlu diberikan pelatihan tentang hukum agraria dan mediasi konflik.
Edukasi dan Pendampingan Masyarakat
Masyarakat perlu diberdayakan untuk memahami hak mereka atas tanah dan mendapatkan akses terhadap layanan hukum.
Jika langkah-langkah ini dilakukan dengan komitmen penuh, Desa Pergam berpotensi menjadi contoh keberhasilan dalam menyelesaikan konflik agraria. Namun, jika dibiarkan berlarut-larut, konflik ini hanya akan memperkuat dominasi mafia tanah dan memperparah penderitaan masyarakat. “Negara harus hadir untuk melindungi rakyat kecil,” tutup Sulastio.Tersingkirnya Petani Akibat Mafia Tanah: Konflik Agraria di Desa Pergam
Desa Pergam, Kecamatan Airgegas, Kabupaten Bangka Selatan, menjadi sorotan publik karena konflik agraria yang memperlihatkan wajah suram administrasi pertanahan di Indonesia. Sengketa tanah yang melibatkan keluarga Ibu Jamik Binti Balkin dan keluarga Bapak Sutaryo alias Dayen tidak hanya mencerminkan ketidakjelasan hukum, tetapi juga membuka peluang bagi mafia tanah untuk mengambil alih tanah secara ilegal.
Ketidakpastian Administrasi Pertanahan
Ketidakjelasan status hukum tanah di Desa Pergam menjadi salah satu akar permasalahan utama. Dalam kondisi ini, mafia tanah memanfaatkan celah hukum untuk memperjualbelikan tanah negara secara ilegal. Mereka sering kali melibatkan oknum masyarakat untuk menguasai lahan dengan cara diperjualbelikan tanpa hak. Praktik semacam ini tidak hanya merugikan para petani, tetapi juga menyebabkan tanah yang sebelumnya produktif kehilangan fungsi utamanya. Akibatnya, petani yang telah bertahun-tahun memanfaatkan tanah untuk bercocok tanam tersingkir dari lahan mereka sendiri.
Salah satu warga Desa Pergam pernah menyampaikan, "Kalau memang lahan kosong atau tanah negara bisa diperjualbelikan, kami juga mau menjualnya. Kami juga maulah kayo." Pernyataan ini mencerminkan frustrasi masyarakat atas ketidakadilan dan ketidakpastian hukum yang mereka alami.
Peran Pemerintah Desa
Sebagai respons, Pemerintah Desa Pergam berupaya menjadi penengah melalui musyawarah yang melibatkan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Mediasi yang dilakukan pada 23 Desember 2024 belum membuahkan hasil, sehingga direncanakan survei lokasi pada 6 Januari 2025. Meski demikian, kurangnya dukungan teknis dari pemerintah daerah dan lemahnya pengawasan memperparah situasi. Mafia tanah semakin leluasa, sementara masyarakat yang kehilangan hak atas tanah mereka semakin terpinggirkan.
Pandangan Ahli Hukum
Sulastio Setiawan, S.H., M.H., Ketua Lembaga Bantuan Hukum Pengawal Keadilan Bangka Belitung Bersatu (LBH PKBBB), menyatakan bahwa pemerintah harus segera memberikan perlindungan hukum kepada petani. “Petani seperti di Desa Pergam, yang telah memanfaatkan lahan selama puluhan tahun, kini kehilangan haknya akibat ketidakpastian hukum dan lemahnya penegakan terhadap mafia tanah,” ujarnya. Sulastio juga menekankan perlunya langkah jangka panjang seperti program sertifikasi tanah dan edukasi kepada masyarakat untuk melawan praktik ilegal.
Dampak Sosial dan Ekonomi
Proses tersingkirnya petani tidak hanya merusak struktur sosial masyarakat, tetapi juga menghancurkan ekosistem pertanian lokal. Tanah yang sebelumnya digunakan untuk perkebunan berkelanjutan kini dialihfungsikan, sering kali tanpa memberikan manfaat bagi masyarakat luas. Selain itu, konflik berkepanjangan memperburuk hubungan sosial antarwarga, menciptakan ketegangan yang sulit diatasi.
Rekomendasi dan Harapan
Untuk mengatasi konflik agraria ini, diperlukan langkah-langkah strategis:
Penyelesaian Konflik Secara Transparan
Pemerintah desa, dengan dukungan pemerintah daerah, harus memastikan musyawarah dan survei lokasi melibatkan semua pihak terkait.
Penindakan Tegas terhadap Mafia Tanah
Aparat penegak hukum harus menindak tegas pelaku jual beli tanah ilegal, termasuk oknum yang terlibat dalam praktik ini.
Percepatan Sertifikasi Tanah
Program sertifikasi tanah bagi masyarakat yang telah memanfaatkan lahan selama puluhan tahun harus menjadi prioritas.
Peningkatan Kapasitas Aparatur Desa
Aparatur desa perlu diberikan pelatihan tentang hukum agraria dan mediasi konflik.
Edukasi dan Pendampingan Masyarakat
Masyarakat perlu diberdayakan untuk memahami hak mereka atas tanah dan mendapatkan akses terhadap layanan hukum.
Jika langkah-langkah ini dilakukan dengan komitmen penuh, Desa Pergam berpotensi menjadi contoh keberhasilan dalam menyelesaikan konflik agraria. Namun, jika dibiarkan berlarut-larut, konflik ini hanya akan memperkuat dominasi mafia tanah dan memperparah penderitaan masyarakat. “Negara harus hadir untuk melindungi rakyat kecil,” tutupnya.
Sulastio.
COMMENTS