Lembata,NTT, RN Lembata merupakan daerah yang mendapat label OTDA pertama di awal era Reformasi. Perjuangan yang cukup panjang bahkan mel...
Lembata merupakan daerah yang mendapat label OTDA pertama di awal era Reformasi. Perjuangan yang cukup panjang bahkan melelahkan sejak tercetusnya komitmen berdiri sendiri (7 Maret 1950). Nama lingkungan 7 Maret dan Berdikari menjadi simbol pencetusan itu.
Kini sudah 20 tahun otonomi Lembata tepatnya di 12 Oktober 1999/2019. Moment penting ini hanya diperingati dengan apel kesadaran atau sejenisnya yang diprakarsai Pemda Lembata. Belum ada desain event yang partisipatif yang kemudian menjadi sumbu refleksi rakyat terhadap derap pembangunan dan dampaknya yang dirasakan rakyat. Atau mungkin juga sebagai ajang event pagelaran budaya ataupun pameran pembangunan ataupun sejenisnya dengan menumbuhkan partisipasi rakyat.
20 tahun otonomi sebenarnya sudah bisa mencapai kematangan jika berbagai program kebijakan pembangunan selama 20 tahun ini mendekati atau membuka akses pencapaian kesejahteraan rakyat. Salah satu contoh yang bisa disebutkan adalah pembangunan infrastruktur jalan masih sangat jauh dari harapan (bandingkan dengan Rote dan Sabu Raijua yang baru beberapa tahnu otonomi setelah Lembata). Kondisi jalan yang buruk yang belum tersentu pembangunan ini berdampak pada distribusi hasil pertanian dan perkebunan rakyat atau dengan kata lain akses pasar masih tergendala. Atau mungkin sudah tersentu akses pasar tetapi harga masih tertekan lantaran jalan buruk sehingga dapat menjadi alasan para pelaku jasa untuk bermain harga.
Contoh yang lain adalah buah Semangka yang dihasilkan desa Dulir dan Lamaheku di kecamatan Atadei tidak bisa terobos pasar Lewoleba karena jalan buruk sehingg cost marketing mengalami peningkatan yang berdampak pada penurunan margin atau keuntungan bersih. Sementara kebutuhan jenis komoditi ini untuk perkotaan disuplay dari Makasar. Artinya ada beberapa karakter wilayah yang berpotensi memenuhi kebutuhan konsumen perkotaan khusus komoditi jenis ini tetapi mandek pada kondisi jalan.
Kondisi jalan yang buruk ini masih menjadi nyanyian buram yang senantiasa dilantunkan rakyat hingga terdengar dalam rumah rakyat (DPRD) maupun rumah pengambil kebijakan tetapi dua rumah itu tak bergeming sedikitpun sehingga lantunan nyanyian buram itu terbawah angin hingga terhempas di pulau pasir awololong. Suara rakyat menjadi suara penentu di ajang politik tetapi menjadi ironi ketika rakyat harus menhemis bangun jalan hanya untuk dia bisa antar hasil pertaniannya ke pasar.
Rekam jejak pembangunan infrastruktur atau sejenisnya dalam 4 dekade kepemimpinan hingga menjelang hut otda 20 ini bisa dicek untuk memastikan rekam jejak kepemimpinan mana yang setidaknya mendekati harapan rakyat untuk sejahterah. Apakah ada? Atau masih sangat jauh dari harapan? Saya yakin bahwa anda memiliki jawaban yang berbeda atau mungkin membengun sejumlah pertanyaan baru sekedar testimoni ataupun sejenisnya. Jika ada jawawab itu pun sangat tergantung pada konteks kenyamanan personal yang tidak menempatkan rakyat secara kolegial dalam rumah lembata.
Ibarat sebuah perjalanan hampir tak pernah terpikirkan bagaimana bekas telapak kaki yang ditinggalkan. Setidaknya bekas telapak kaki itu mampu berceritera atau memberi warna terhadap apa yang dilewati untuk kemudian diikuti pejalan kaki berikutnya.
Sejak Oktober 1999 ketika gendrang otda berhenti bertalu lantaran pemerintah pusat menyetujui harapan rakyat lembata untuk berdiri sendiri dan lepas dari Flores Timur, tentunya menjadi kegembiraan rakyat yang meluap-luap laksana pangeran menjemput sang putri dalam pinangan adat. Betapa tidak, perjuangan yang teriniaisasi dan terbetik sejak tahun 1950an baru terjawab ketika beberapa penggagas dan inisiator sudah di usia asur. Walaupun demikian, canda tawa dan sorak sorai generasi ini menyambut hasil perjuangan rakyat yang diwakili para pihak hingga diterimanya putri otda lembata oleh pangeran lepan batan di 12 Oktober 1999.
Sejak itu, kepemimpinan Lembata dijabat oleh Petrus Boli Keraf untuk kemudian mulai mendesain kerangka pembangunan sembari mempersiapkan proses pemilihan bupati definitip. Dalam perjuangan otda dilevel terakhir yang didominasi dengan strategi pressuring pemerintah pusat melalui DPRRI, Pieter Keraf adalah salah satu stakeholders dari tim besar Jakarta yang bersinergi dengan tim perutusan masyarakat lembata. Kebetulan saya tidak termasuk dalam tim perutusan tetapi menjadi kameramen dadakan dari mandat Thomas Ladjar kala itu di ruang DPŔRI.
Pembangunan infrastruktur di masa kepemimpinan Pieter Keraf berhasil membuka akes jalan lingkar luar jalur Lewoleba-Waijarang-Loang-Mingar hingga Tapobali. Sementara jalan lingkar pantai teluk Lewoleba luput dari perencanaan yang tereksekusi. Selain itu ada beberapa ruas jalan mengalami peningkatan walau hanya lapen. Kawasan tanjung Ile Ape semisal Beutaran, Tagawiti dan Dulitukan boleh menikmati air bersih di periode ini dan kini masih tertinggal jaringan pipa kosong tanpa air karena perencanan setiap period tidak berkesinambungan. Rencana pemindahan kantor bupati dari lewoleba ke lusikawak telah dirintis di period ini walau akhirnya ada kerangka bangunan di lusikawak yang masih menyimpan ceritera kebijakan.
Dalam mengeksekusi beberapa item pekerjaan infrastruktur di period ini, tentunya para kontraktor lokal boleh bernafas lega bahkan tersenyum megap lantaran mekanisme tender proyek menganut sistem pemberdayaan kontraktor lokal. Tidak heran kalau banyak kontraktor lokal masih berceritera kenyamanan akses pekerjaan di period ini.
Pada masa kepemimpinan bupati definitip yakni bpk Anderas Duli Manuk (2 periode) sejumlah pembangunan infrastruktur menghubungkan pedesaan juga mulai terlihat ada peningkatan tetapi masih terbatas pada pelebaran jalan dan ada di sejumlah titik sudah mulai dengan pengaspalan tetapi dalam bentuk lapen sehingga tingkat kebertahannya mengikuti periode kepemimpinan. Sementara untuk akses air minum di wilayah Ile Ape dimana wilayah tanjung sudah menikmati air leding kemudian terhenti dan hendak digantikan dengan pendekatan penyulingan air minum dengan sentuhan teknologi. Bangunan dan sarana penyulingan di desa Bunga muda masih berceritera lantaran mubasir karena over cost operasional. Selain itu untuk akses pelayanan BBM yang sering menjadi persoalan krusial, coba diatasi dengan pembangunan jober di are pelabuhan dan fasilitasnya cukup lengkap jika dibandingkan dengan standar sop penggunaanya. Ironisnya, deret hitung bangunan mubasir mulai bertambah dari bangunan kantor bupati lusikawak dan bangunan penyulingan air laut Bunga Muda.
Di periode inipun terjadi kebijakan pembangunan kantor bupati di akelohe wilayah administrasi kec. Ile Ape. Mulai terkesan perencanaan pembangunan yang tidak memperkuat perencanaan sebelumnya. Bangunan kantor bupati Lusikawak dan akelohe menyimpan ceritera perbedaan perencanaan period kepemimpinan.
Ruang akses pekerjaan berlabel KSO mulai mengalami peningkatan tajam di period ini.
Salah satu kebijakan pembangunan yang mendapat protes keras masyarakat lembata adalah kebijakan eksploitasi tambang yang bekerja sama dengan PT. Meruck E. Gelombang tekanan menggulung oleh arus masyarakat berhasil menghempas kebijakan ini yang kemudian pasal 50 RTRW yang mengatur tentang eksplotasi tambang pun dicabut DPRD.
Pergantian kepemimpinan di periode berikutnya, setidaknya membawah harapan baru dengan tagline Lembata Baru. Betapa tidak, kemenangan telak politik Lembata Baru menepis Titen, sesungguhnya menyimpan harapan masyarakat akan perubahan sesuai tagline Lembata Baru. Perubahan itu tentunya bisa menyentu kebutuhan rakyat terkait jalan, air dan listrik.
Beberapa terobosan awal yang dilakukan bupati Elyazer Yentji Sunur di awal periode kepemimpinan Lembata baru adalah peningkatan jalan trans lembata mulai dari pelebaran hingga pengaspalan. Proyek ini baru selesai mendekati tahun ke 5 akhir periode. Perubahan dari jalan lapen ke hotmix dan satu2nya jalur jalan yang cukup menggembirakan adalah jl trans lembat hingga jalan ke bukit cinta. Sementara jalur2 jalan dalqm kota belum mengalami perubahan signifikan.
Selain jalan trans Lembata juga jalan yang membentang dari akelohe menuju hadakewa sudah dalam kondisi hotmix. Demikian juga jalur menuju kedang sedang dalam proses peningkatan di perode 2 kepemimpinan ini.
Sementara jalur ke Atadei, Nagawutun dan Wulandoni memang ada peningkatan tetapi tidak se"WAH" jalur ke Kedang. Apakah ini dampak bias dari pilihan politik?
Terobosan lain adalah pembangunan wailain di Kedang yang sudah menelan biaya luar biasa tapi hingga kini mssyarakat kedang belum menikmati air bersi dari dampak pembangunan itu.
Selain itu masih ada sejumlah bangunan yang lainnya yang dibangun dari periode ini adalah rumah sakit penyangga di Kedang tetapi belum digunakan secara maksimal. Berikut tempat pengolahan sampa di perbukitan waijarang dan bukit cinta serta sejumlah bangunan jeti lainnya.
Di periode pertama hingga pertengahan periode ini, pariwisata sebagai leading sektor pembangunan. Indicator yang bisa dilihat dari sektor ini adalah munculnya sejumlah destinasi baru yang belum tereksplor sebelumnya. Grafik promosi destinasi baru mengalami peningkatan sementara lamalera yang menjadi ikon wisata dunia luput dari ajang promosi.
Model pembangunan pariwisata cenderung berbasis pemodal atau investasi dan bukan model pendekatan pembangunan pariwisata berbasis masyarakat dan institusi terbawah dengan menggunakan manajemen saling suport. Misalnya, desa waijarang dan desa Bour ada dalam kawasan pengembangan pariwisata tetapi luput dari pengembangan destinasi yang menjadikan masyarakat dan dua desa itu menjadi subyek pembangunan kepariwisataan. Bahkan salah satu destinasi di pantai waijarang justeru dikelola langsung oleh dispar tanpa melibatkan desa dari sisi kewenangan wilayah administratif. Belum lagi aset2 wisata di wilayah administrasi desa bersangkutan tetapi bukan milik masyarakat atau desa tersebut padahal mesti ada strategi atau upaya mendongkrak PADes dengan pendekatan manajemen saling suport dan bukan mengambil alih atau membangun sejenis habitat baru. Sebut saja beberapa bangunan homestay di desa watodiri dan Lamawolo tetapi itu bukan milik warga ataupun desa sebagaiman harapan UU Desa terksit strategi mendongkrak pertumbuhan ekonomi desa.
Berbagai event promisi wisata yang digelar pun terkesan tidak menumbuhkan partisipasi rakyat secara optimal bahkan pilihan produk atau paket kemasan tidak menjadikan rakyat sebagai sumbu utama. Tidak heran jika masyarakat hanya menjadi penonton di setiap event yang digelar. Belum lagi afa penambahan aset kepemilikan personal yang melekat dengan kekuasaan. Apalagi kalau aset itu diresmikan oleh negara. Wow.
Pilihan event pun melupakan moment2 penting yang memiliki ciri khusus semisal hari ulang tahun otonomi daerah. Event perjuangan rakyat ini jauh dikesampingkan dari gebyar event dan hanya sebatas apel seremonial kenegaraan. Belum terdesain event ini yang terkoneksi dengan potensi kearifan budaya.
Salah satu kebijakan yang kemudian mendapat sorotan publik adalh pembangunan sejumlah fasilitas di pulau pasir awololong dimana hingga kini tidak terlaksana. Sorotan dan penolakan publik tentunya memiliki alasan baik terkait legenda awololong sendiri maupun ruang akses nelayan dan masayarakat pesisir dalam akses untuk mendapatkan siput akan tertutup oleh penguasaan tempat. Tuntutan masyarakat lembata lebih menghendaki pembangunan infrastruktur untuk memudahkan akses distribusi ketimbang fasilitas yang lain yang tidak berdampak pada masyarakat apalagi tidak sama sekalih.
Protus Burin
COMMENTS