Ganti Rugi TKD desa Ciherang ,kecamatan sumedang selatan Tak Langgar Aturan

SUMEDANG, RN          Telah diberitakan edisi sebelumnya, ganti rugi tanah kas desa (TKD) Ciherang, Kecamatan Sumedang Selatan, diduga dikua...

SUMEDANG, RN         

Telah diberitakan edisi sebelumnya, ganti rugi tanah kas desa (TKD) Ciherang, Kecamatan Sumedang Selatan, diduga dikuasai pihak panitia. Bahkan, proses pengadaan dan ganti ruginyapun tak melibatkan warga desa setempat. 

Namun, dugaan tersebut menurut. Kades Ciherang melalui Taopik, tidak benar. Menurut Opik---panggilan akrab Taopik, proses pengadaan dan pembebasan TKD telah sesuai dengan regulasi.

"Saya rasa tak ada yang salah. Proses pengadaan dan pembebasan TKD sesuai aturan," terang Opik, saat ditemui di ruang kerjanya, Selasa (11/06/2024).

Lalu, Opik menjelaskan asal usul pembebasan hingga pengadaan termasuk ganti rugi TKD. 

Menurut Opik, beberapa tahun lalu Desa Ciherang menerima surat dari PPK soal soal TKD yang harus dibebaskan untuk kepentingan pembangunan Jalan Tol Cisumdawu. Surat itu kemudian ditindaklanjuti dengan cara pelaksanaan rapat antara pihak desa dengan BPD, sebelum akhirnya pada tahun 2017 datang tim aprisal dari Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) untuk menilai dan menaksir kondisi TKD yang bakal dibebaskan. 

Setelah itu, pada saat kepemimpinan Kades Iwan, Desa Ciherang segera membentuk panitia. Anggotanya tujuh orang, terdiri dari tiga orang keterwakilan dari wilayah 1 hingga 3, tiga orang dari LPM dan satu orang dari perangkat desa. 

"Khusus untuk panitia dari perangkat desa diambil dari hasil pemilihan. Bukan atas dasar penunjukan langsung," jelas Taopik.

Pasca dibentuk panitia, muncul intruksi dari PPK lahan untuk mencari TKD pengganti senilai Rp. 10 Milyar. Maka, pihak panitia khususnya yang berada di kewilayahan langsung bergerak mencari lahan. Hanya saja, pencarian lahan pengganti tidak gampang, karena banyak masyarakat yang enggan menjual lahannya. Lantaran, selain bertepatan dengan pembebasan lahan jalan tol, juga anggaran untuk pembayaran TKD masih dalam proses pengajuan.

"Kala itu, masyarakat lebih cenderung menjual lahan ke warga yang dapat uang ganti rugi pembebasan jalan tol, karena dibayar tunai dibanding ke pihak desa yang anggarannya baru diajukan," jelas Opik.

"Sebenarnya pengadaan TKD tidak dikuasai panitia. Masyarakat sendiri yang kala itu enggan menjual tanahnya ke desa. Namun, saat tahu ada kepastian pembayaran, mereka berbondong-bondong hendak menjual lahannya. Sayang, semuanya sudah terlambat, karena kita tidak bisa membatalkan lahan yang keputusan atau rekomendasi Gubernurnya telah terbit. Jika ada satu bidang saja diganti, itu artinya semuanya harus kembali dikaji ulang," terang Opik

 

Masih kata Opik, dalam perjalanannya nilai TKD itu bukan senilai Rp. 10 Milyar, tapi bertambah menjadi sekitar Rp. 13 Milyar. Dan, uang tersebut seluruhnya harus habis dijadikan lahan pengganti TKD.

"Karena ini, pihak panitia terpaksa mencari lahan lagi untuk menghabiskan sisa anggaran. Akhirnya dari semua itu hanya menyisakan uang Rp. 87 ribu yang dikembalikan ke pihak desa," terangnya.

Sementara disinggung soal dugaan mark up harga karena ada lahan yang tidak produktif dinilai cukup tinggi, Opik menjelaskan, semua itu hanya salah paham. Menurutnya, harga taksir lahan bukan didasari produktif atau tidak produktif. Tapi, didasari oleh tiga hal. Yaitu, akses jalan, akses gang dan tidak ada akses.

"Tiga hal tersebut yang menjadikan tinggi rendahnya harga lahan," pungkas  Opik. ( Aris)