"Demokrasi sejati terlahir dari keberanian rakyat untuk bertanya dan harapan untuk berubah." Pandeglang-Banten, RN Pelaksanaan Pe...
"Demokrasi sejati terlahir dari keberanian rakyat untuk bertanya dan harapan untuk berubah."
Pandeglang-Banten, RN
Pelaksanaan Pemilu 2024 di Banten semakin dekat, membawa harapan dan tantangan baru bagi masyarakat. Namun, di balik semarak pesta demokrasi, terhampar bayang-bayang politik uang dan praktik korupsi yang telah mengakar kuat. Fenomena ini tidak hanya menjadi momok bagi proses demokrasi yang sehat, tetapi juga mencerminkan kerentanan moral dalam sistem politik yang kita jalani.
Satu frasa yang kini menjadi bahan perbincangan di berbagai kalangan adalah Aya Meureun. Dalam bahasa Sunda, frasa ini berarti berani menanyakan uang. Ini bukan sekadar kalimat, melainkan cerminan dari sebuah budaya yang mengakar dalam masyarakat, di mana transaksi uang sering kali dianggap sebagai jalan pintas untuk meraih kekuasaan. Hal ini menciptakan jembatan antara kebutuhan pemilih yang sering kali terpinggirkan dan praktik manipulatif yang berpotensi merusak integritas pemilu.
Praktik politik uang di Banten sudah menjadi rahasia umum. Di setiap pemilihan, kita sering mendengar cerita tentang caleg yang membagikan uang, sembako, bahkan janji-janji manis yang tak kunjung terealisasi. Dalam konteks ini, Aya Meureun menjadi penanda bahwa masyarakat, dalam kondisi tertekan dan tak berdaya, lebih memilih menggadaikan suara mereka demi kepentingan jangka pendek. Akibatnya, aspirasi kolektif masyarakat tak lagi menjadi prioritas, melainkan bergeser menjadi transaksi sesaat.
Penulis menilai bahwa praktik ini menciptakan dampak jangka panjang yang merugikan. Ketika suara dijual, maka hak untuk memilih dengan bijak akan sirna. Korupsi menjadi bagian dari kultur, di mana pemimpin yang terpilih tidak lagi berfokus pada kepentingan rakyat, melainkan pada kepentingan pribadi dan kelompok tertentu. Dengan demikian, proses demokrasi bukan lagi alat untuk mencapai keadilan sosial, melainkan arena bisnis yang menguntungkan segelintir orang.
Tantangan ini memerlukan keberanian dan komitmen dari semua pihak. Masyarakat perlu berani menolak tawaran politik uang, berani mempertanyakan integritas calon pemimpin, dan berani untuk tidak menjadi bagian dari lingkaran setan yang merusak demokrasi. Proses edukasi politik juga harus diperkuat, agar pemilih memiliki kesadaran akan hak dan kewajibannya.
Banten, sebagai salah satu provinsi dengan potensi sumber daya yang besar, seharusnya menjadi teladan dalam pelaksanaan pemilu yang bersih dan demokratis. Di sinilah peran lembaga pengawas pemilu, organisasi masyarakat sipil, dan tokoh masyarakat sangat penting. Kolaborasi antara semua elemen tersebut dapat menciptakan iklim politik yang lebih sehat dan berkelanjutan.
Menghadapi Pemilu 2024, masyarakat Banten dihadapkan pada pilihan sulit: terus berkompromi dengan praktik politik uang atau berani melawan untuk masa depan yang lebih baik. Aya Meureun bukan hanya sekadar ungkapan, tetapi tantangan untuk berani mempertanyakan nilai-nilai yang telah terdistorsi dalam perjalanan politik kita. Hanya dengan keberanian dan komitmen, kita bisa berharap melihat Banten yang lebih baik, di mana suara rakyat kembali menjadi yang terpenting dalam menentukan arah pembangunan dan kebijakan.
Krisis Kepercayaan
Hasil survei terbaru memberikan gambaran mengejutkan tentang kondisi kepercayaan publik terhadap partai politik, khususnya di Banten dan Indonesia secara keseluruhan. Menurut survei dari CSIS, 87,4% rakyat mengungkapkan ketidakpercayaan mereka terhadap partai politik, sementara LIPI mencatat angka kepercayaan publik yang hanya tersisa 23,4%.
Angka-angka ini bukan sekadar statistik; mereka mencerminkan sebuah krisis yang lebih dalam, sebuah kegagalan elite politik dalam menjalankan amanah yang diberikan oleh rakyat.
Kondisi ini menandakan bahwa banyak politisi telah terjebak dalam praktik korupsi yang sistematis, mengabaikan tanggung jawab mereka sebagai politisi. Korupsi bukan sekadar masalah kehilangan uang negara; lebih jauh lagi, ia merusak integritas sistem demokrasi yang seharusnya menjadi landasan dari pemerintahan yang adil dan transparan. Ketika rakyat merasa terpinggirkan, perasaan frustrasi dan kehilangan kepercayaan mulai mengendap, mendorong mereka untuk memilih golput (tidak memberikan suara) sebagai bentuk perlawanan yang pasif namun signifikan.
Siklus ini menciptakan sebuah lingkaran setan: rakyat yang apatis, partai yang tidak berfungsi, dan korupsi yang terus berlanjut. Dalam keadaan ini, suara rakyat menjadi tidak berharga, hanya sebuah formalitas dalam sistem yang sudah terdistorsi. Ketidakpahaman banyak politisi tentang etika berpolitik dan tanggung jawab mereka sebagai pelayan publik semakin memperparah situasi. Mereka tampak lebih tertarik pada keuntungan pribadi ketimbang misi mulia untuk membangun negara dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dalam konteks ini, muncul pertanyaan mendasar: Apa yang harus dilakukan untuk memulihkan kepercayaan publik? Pertama-tama, diperlukan upaya serius dari partai politik untuk mereformasi diri. Ini bukan hanya tentang mengganti wajah-wajah lama dengan yang baru, tetapi tentang merombak budaya yang telah mengakar di dalam tubuh partai. Politisi harus diajarkan untuk memahami bahwa kekuasaan bukanlah tujuan, melainkan sarana untuk melayani masyarakat. Ini menuntut pendidikan politik yang mendalam, baik bagi calon pemimpin maupun masyarakat sebagai pemilih.
Sementara itu, partisipasi masyarakat dalam pengawasan juga harus ditingkatkan. Keterlibatan aktif dalam proses politik dapat menjadi salah satu kunci untuk menekan praktik korupsi.
Masyarakat perlu berani menuntut transparansi dan akuntabilitas dari para wakilnya, serta tidak segan untuk memberikan penilaian terhadap kinerja mereka. Ini menciptakan tekanan yang diperlukan untuk mendorong perubahan.
Membangun kembali kepercayaan publik adalah tugas yang tidak mudah, namun bukanlah hal yang mustahil. Banten, sebagai salah satu provinsi yang kaya akan potensi, memiliki peluang untuk menjadi pelopor dalam memerangi korupsi dan mengembalikan kepercayaan masyarakat. Jika para politisi mampu menunjukkan komitmen terhadap prinsip-prinsip demokrasi yang sejati dan mengutamakan kepentingan rakyat, mungkin harapan untuk melihat perubahan itu tidak sekadar angan-angan.
Kesimpulannya, krisis kepercayaan yang melanda partai politik di Banten dan Indonesia adalah masalah yang kompleks dan multidimensional. Namun, dengan keberanian untuk menghadapi kenyataan dan kemauan untuk berubah, kita bisa berharap untuk membangun kembali ikatan antara rakyat dan wakilnya. Dalam dunia politik yang ideal, rakyat tidak hanya menjadi objek, tetapi subjek yang aktif dalam menentukan arah pembangunan. Hanya dengan cara ini, kita dapat meraih tujuan bersama: sebuah demokrasi yang sehat, adil, dan berkelanjutan.
Menciptakan Harapan Baru
Di tengah kondisi suram yang melanda dunia politik Banten, kebutuhan mendesak akan reformasi partai politik semakin tak terelakkan. Kepercayaan publik yang terpuruk, praktik korupsi yang mengakar, dan ketidakpuasan masyarakat merupakan sinyal jelas bahwa elite politik harus segera berbenah. Kesadaran kolektif di antara para pemimpin politik untuk bangkit dan mengembalikan kepercayaan rakyat adalah langkah pertama yang krusial dalam menciptakan demokrasi yang sehat.
Partai politik harus menjadi wadah yang bervisi, mampu menangkap dan memperjuangkan aspirasi rakyat. Mereka tidak boleh lagi terjebak dalam rutinitas politik yang pragmatis, melainkan harus menjalin mimpi bersama untuk mewujudkan kemakmuran bangsa. Hal ini bukanlah tugas yang mudah, namun sangat mungkin jika disertai dengan niat tulus dan tindakan nyata.
Dalam hal ini, partai politik harus dapat berfungsi sebagai jembatan antara suara rakyat dan kebijakan publik yang berkeadilan.
Dalam konteks ini, penulis berpendapat bahwa tanggung jawab utama seorang pemimpin adalah menggendong rakyat dengan penuh cinta dan tanggung jawab. Rakyat harus merasa dilindungi dan diperhatikan, bukan menjadi objek eksploitasi yang hanya digunakan untuk meraih kekuasaan. Hubungan antara pemimpin dan rakyat seharusnya bersifat mutual, di mana kedua belah pihak saling menghormati dan mendukung satu sama lain dalam menjalankan roda pemerintahan.
Dengan Pilkada Banten 2024 yang semakin dekat, harapan akan munculnya pemimpin yang bersih dan berintegritas harus terus dinyalakan. Masyarakat berhak untuk menginginkan sosok pemimpin yang tidak hanya mampu mendengar, tetapi juga memahami dan memperjuangkan aspirasi mereka. Pemimpin yang memiliki integritas adalah harapan untuk mengembalikan martabat demokrasi yang kini mulai tercoreng oleh praktik-praktik korupsi yang merajalela.
Reformasi politik menjadi sangat penting dalam konteks ini. Jika partai politik tidak mampu melakukan introspeksi dan memperbaiki diri, maka bukan tidak mungkin kita akan kembali pada sistem yang lebih otoriter. Sistem yang mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan dan demokrasi yang telah diperjuangkan dengan susah payah oleh generasi sebelumnya. Keberanian untuk berubah adalah suatu keharusan; tanpa itu, impian akan adanya pemerintahan yang adil dan bersih akan tetap menjadi angan-angan belaka.
Masyarakat pun harus berperan aktif dalam proses ini. Kesadaran untuk tidak hanya menjadi pemilih pasif, tetapi juga sebagai pengawas yang kritis terhadap para calon pemimpin, harus ditumbuhkan. Dukungan terhadap partai politik yang menunjukkan komitmen nyata untuk memperjuangkan kepentingan rakyat perlu dikuatkan. Dengan cara ini, kita dapat bersama-sama menciptakan ekosistem politik yang lebih sehat, di mana korupsi bukan lagi menjadi norma, tetapi ditentang secara kolektif.
Harapan baru tidak akan muncul dengan sendirinya. Ia harus dibangun dengan kesungguhan, kerja keras, dan tekad bersama. Hanya dengan cara ini, kita dapat memupuk harapan akan masa depan yang lebih baik bagi Banten dan seluruh Indonesia.
Mari kita menyalakan semangat ini, agar demokrasi yang kita cita-citakan tidak hanya sekadar impian, tetapi menjadi kenyataan yang dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat.
Tentang penulis:
BUNG EKO SUPRIATNO
Dosen Ilmu Pemerintahan d Fakultas Hukum dan Sosial
Universitas Mathlaul Anwar Banten.
COMMENTS