Banten, RN _"Jika negara hanya melayani korporasi dan aparat, siapa yang akan membela rakyat yang teraniaya? Warga Cibetus bukan musuh,...
Banten, RN
_"Jika negara hanya melayani korporasi dan aparat, siapa yang akan membela rakyat yang teraniaya? Warga Cibetus bukan musuh, mereka hanya mencari udara yang layak!"_
Cibetus, sebuah kampung kecil di Padarincang, Banten, adalah saksi dari ketidakadilan yang tak terungkapkan. Di tempat yang seharusnya damai, warga Cibetus bertarung selama lebih dari satu dekade untuk mendapatkan udara bersih dan lingkungan yang sehat. Namun, mereka tak menghadapi solusi, melainkan kekerasan dari aparat yang seharusnya melindungi mereka.
Selama 13 tahun, warga Cibetus melawan polusi dari PT Sinar Ternak Sejahtera (STS), perusahaan peternakan ayam yang merusak lingkungan dan kesehatan. Apa yang seharusnya menjadi perjuangan bersama untuk masa depan yang lebih baik justru berakhir dengan tindakan represif. Penangkapan brutal yang terjadi pada 7 dan 8 Februari 2025 hanya menambah derita warga yang sudah lama teraniaya. Polisi, yang seharusnya menjaga keamanan, malah datang dengan senjata lengkap, menyergap rumah-rumah warga. Mereka bukan pelindung, mereka adalah ancaman. Anak-anak, santri, dan warga yang tak tahu apa-apa menjadi korban dalam peristiwa ini. Sementara perusahaan yang merusak lingkungan tetap bebas, tanpa ada tindakan berarti dari negara.
Polusi yang ditimbulkan oleh peternakan ayam STS bukan hanya mengganggu kenyamanan, tetapi telah merusak kesehatan warga. Sekitar 200 orang mengalami gejala ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut). Tidak ada ruang bagi warga untuk diam. Mereka yang memperjuangkan hak mereka justru disambut dengan penangkapan, intimidasi, dan penyiksaan. Mereka yang hanya menginginkan udara bersih dan hidup sehat diperlakukan seperti musuh negara.
Pertanyaannya sekarang, di manakah negara dalam hal ini? Apakah hukum berfungsi untuk melindungi rakyat, atau hanya menjadi alat kekuasaan yang melindungi segelintir orang? Negara yang seharusnya hadir untuk melawan ketidakadilan justru berpihak pada perusahaan besar yang merusak bumi dan menyengsarakan rakyatnya.
Negara harus memastikan bahwa hak warga untuk hidup sehat dihormati, bukan melindungi kekuasaan yang merusak lingkungan demi keuntungan pribadi.
Kenyataan ini harus dihentikan. Negara tidak boleh berpihak pada kekuasaan yang menindas. Warga Cibetus berhak hidup tanpa ketakutan, berhak mendapatkan udara bersih, dan berhak atas lingkungan yang sehat. Ini bukan permintaan, ini adalah hak dasar yang tidak boleh dilanggar. Kita harus berdiri bersama mereka yang berjuang untuk hidup yang lebih baik. Keputusan untuk bertindak sekarang ada di tangan kita. Bebaskan warga Cibetus! Hentikan kekerasan dan ketidakadilan yang menimpa mereka!
*Bebaskan Warga Cibetus!*
Aksi protes warga Cibetus, bukan hanya soal ketidaksetujuan terhadap pencemaran yang mereka alami. Ini adalah ekspresi terakhir dari rasa sakit dan frustrasi yang sudah tak bisa lagi mereka pendam. Selama bertahun-tahun, mereka hidup dalam lingkungan yang dipenuhi polusi udara, akibat operasional peternakan ayam yang merusak. Polusi ini tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga menyebabkan banyak warga menderita penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). Mereka tidak bisa tinggal diam melihat masa depan anak-anak mereka yang semakin terancam.
Namun, alih-alih mendapat solusi atau perhatian, mereka disambut dengan kekerasan. Penangkapan terhadap 11 warga, termasuk perempuan dan santri, dengan cara yang brutal, menunjukkan bahwa negara lebih mendengarkan kepentingan perusahaan besar daripada suara rakyat. Polisi, yang seharusnya melindungi, justru berperan sebagai alat penindasan. Mereka tidak lagi menjadi penjaga, tetapi pelaku yang menekan.
Yang dipertaruhkan bukan sekadar pencemaran atau peternakan ayam. Ini adalah hak dasar manusia untuk hidup di lingkungan yang bersih dan sehat, bebas dari ancaman polusi. Warga Cibetus berjuang untuk kesehatan mereka dan masa depan anak-anak mereka, yang seharusnya berhak bernapas udara segar. Namun, mereka dihukum oleh negara yang lebih berpihak pada kekuatan ekonomi.
Penyiksaan yang mereka alami bukan hanya masalah hukum, tetapi juga masalah moral. Negara, yang seharusnya hadir untuk melindungi, malah membiarkan perusahaan-perusahaan besar merusak bumi dan kesehatan warganya. Di manakah keadilan ketika hukum tidak lagi berpihak pada kebenaran? Di manakah negara yang seharusnya hadir untuk rakyatnya?
Apa yang terjadi di Cibetus adalah cerminan nyata ketidakadilan. Negara yang seharusnya menjaga hak rakyat, malah memberi perlindungan kepada korporasi yang merusak lingkungan. Warga Cibetus bukan ancaman negara, tetapi korban dari kebijakan yang lebih mengutamakan keuntungan daripada hak hidup yang layak. Mereka yang hanya ingin hidup damai, bebas dari polusi, diperlakukan seperti musuh.
Masalah ini bukan soal satu kampung atau satu perusahaan, tetapi soal hak dasar setiap manusia untuk hidup dengan martabat. Negara tidak boleh membiarkan suara-suara kecil ini dibungkam hanya karena kekuatan ekonomi lebih kuat daripada suara rakyat.
*Waktunya Untuk Melawan!*
Saatnya kita bersuara. Saatnya kita menghentikan ketidakadilan ini. Bebaskan warga Cibetus! Kita tidak bisa membiarkan kekerasan dan ketidakadilan ini terus berlanjut. Ketika negara berpihak pada kekuasaan, kita harus berdiri bersama rakyat kecil yang hanya memperjuangkan hak mereka untuk hidup dengan sehat dan aman. Jangan biarkan suara mereka tenggelam dalam kebisuan yang diciptakan oleh kekuasaan.
Kita harus memastikan bahwa kekuasaan tidak lagi melindungi korporasi yang merusak alam, tetapi melindungi hak rakyat untuk hidup dengan martabat. Ini bukan saatnya untuk diam. Saatnya bertindak, saatnya memastikan bahwa tidak ada lagi warga yang takut untuk berbicara atau berjuang demi masa depan mereka. Bebaskan warga Cibetus dan hentikan kekerasan yang menimpa mereka!
Apa yang terjadi di Cibetus bukanlah kejadian terisolasi, melainkan bagian dari sebuah pola yang terus berulang di Indonesia: suara rakyat yang menuntut keadilan selalu dipadamkan dengan kekerasan. Sejak protes Undang-Undang Cipta Kerja, hingga pembungkaman terhadap warga Air Bangis dan Rempang-Galang, brutalitas polisi selalu jadi jawaban. Negara, yang seharusnya menjadi pelindung, justru berpihak pada kekuatan yang memiliki kepentingan ekonomi besar. Cibetus hanyalah puncak gunung es dari ketidakadilan yang sudah menjadi sistem.
Presiden Prabowo, yang seharusnya mendengarkan rakyat, malah membiarkan suara-suara tertindas ini terkubur. Tidak ada lagi tindakan nyata untuk menegakkan hak asasi manusia. Laporan DPR yang memuat rekomendasi terkait pelanggaran HAM hanya menjadi dokumen kosong yang tak diindahkan. Aparat penegak hukum seharusnya berfungsi untuk menegakkan keadilan, tetapi kenyataannya, mereka malah menjadi penjaga status quo—alat untuk menjaga kepentingan segelintir orang yang lebih kuat.
Saatnya kita membuka mata. Keberpihakan negara kepada rakyat bukan lagi sebuah pilihan, tetapi sebuah kewajiban. Negara harus hadir untuk melindungi mereka yang tidak memiliki kekuatan, bukan melindungi mereka yang merusak dan menginjak martabat rakyat. Warga Cibetus berjuang untuk hak dasar mereka: udara bersih, lingkungan sehat, dan masa depan yang lebih baik. Mereka tidak boleh dibungkam. Keberanian mereka untuk melawan ketidakadilan harus menjadi panutan bagi kita semua.
*Panggilan Untuk Kita Semua!*
Jangan biarkan ketakutan menumbangkan keadilan. Bebaskan warga Cibetus! Bebaskan mereka yang dipenjara tanpa dasar yang jelas! Setiap warga negara berhak menyuarakan ketidakadilan yang mereka hadapi tanpa rasa takut akan represi. Negara harus memastikan bahwa suara rakyat didengar, dan bukan dihentikan dengan kekerasan. Jika kita membiarkan penindasan ini terus berlanjut, keadilan akan mati.
Ini adalah panggilan untuk kita semua. Saatnya untuk bersatu, menghentikan brutalitas, dan memastikan keadilan ditegakkan. Tidak ada lagi tempat untuk ketakutan, dan tidak ada alasan untuk melawan mereka yang hanya berjuang untuk hidup dengan martabat. Warga Cibetus berhak hidup bebas, dan kita harus pastikan mereka mendapatkannya.***
Tentang penulis:
BUNG EKO SUPRIATNO
Dosen Ilmu Pemerintahan di Fakultas Hukum dan Sosial
Universitas Mathla’ul Anwar Banten.
DAFTAR PUSTAKA
1. Aji.or.id. (n.d.). Desakan Masyarakat Sipil: Hentikan Brutalitas Aparat Dan Bebaskan Semua Massa Aksi Yang Ditangkap Sewenang-Wenang! Diakses dari https://aji.or.id/informasi/desakan-masyarakat-sipil-hentikan-brutalitas-aparat-dan-bebaskan-semua-massa-aksi-yang-ditangkap-sewenang-wenang
2. Amnesty International Indonesia. (n.d.). Hentikan brutalitas polisi. Diakses dari https://www.amnesty.id/kabar-terbaru/siaran-pers/hentikan-brutalitas-polisi/08/2024/
3. Amnesty.id. (2022, Oktober). Diakses dari https://www.amnesty.id/wp-content/uploads/2022/10/ASA2160132022_Final_Tergerusnya-Kebebasan-Sipil-Di-Indonesia-3.Pdf
4. Academia.edu. (n.d.). (PDF) Ekonomi versus Hak Asasi Manusia dalam Penanganan Covid-19: Dikotomi atau Harmonisasi | Mei Susanto. Diakses dari https://www.academia.edu/62505350/Ekonomi_versus_Hak_Asasi_Manusia_dalam_Penanganan_Covid_19_Dikotomi_atau_Harmonisasi
5. Biem.co. (2025, Februari). TNI-Polri dalam Gelombang Zaman. Diakses dari https://www.biem.co/read/2025/02/03/106797/tni-polri-dalam-gelombang-zaman
COMMENTS