Pandeglang, RN Ketegangan yang melanda Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Labuan, Pandeglang, semakin memuncak pada Senin pagi, saat puluhan wa...
Pandeglang, RN
Ketegangan yang melanda Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Labuan, Pandeglang, semakin memuncak pada Senin pagi, saat puluhan warga yang tergabung dalam Kelompok Kerja (POKJA) RSUD Labuan menggelar aksi unjuk rasa besar-besaran. Dalam demonstrasi yang berlangsung, warga menuntut transparansi dalam pengelolaan proyek rumah sakit yang tengah dibangun, yang diduga penuh dengan penyimpangan dan mafia proyek. Isu mengenai pungutan liar, ketidakpatuhan terhadap peraturan, serta pengabaian analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) menjadi sorotan utama dalam aksi tersebut.
Pembangunan RSUD Labuan yang seharusnya menjadi solusi bagi peningkatan akses layanan kesehatan di wilayah tersebut justru diliputi oleh sejumlah kontroversi yang meresahkan masyarakat. Proyek yang dilaksanakan di tengah pemukiman padat penduduk ini mendapat sorotan tajam setelah Kelompok Kerja (POKJA) menemukan sejumlah kejanggalan, yang memunculkan dugaan adanya mafia proyek dan pelanggaran hukum. Salah satu isu besar yang mencuat adalah dugaan pengabaian terhadap analisis dampak lingkungan (AMDAL), meskipun lokasi rumah sakit ini terletak di tengah permukiman padat penduduk. Isu lain yang memicu kemarahan warga adalah kurangnya transparansi dalam proses rekrutmen tenaga kesehatan (nakes), yang dicurigai melibatkan praktik pungutan liar yang bertentangan dengan ketentuan Upah Minimum Kabupaten (UMK) dan Upah Minimum Provinsi (UMP).
Tuntutan Transparansi dan Tindakan Tegas
Koordinator aksi, Tb. Muhidin, dalam orasinya menegaskan pentingnya transparansi dalam setiap tahap pengelolaan proyek rumah sakit ini. “Jika RSUD Labuan berstatus tipe C, maka seharusnya izin AMDAL yang diajukan, bukan hanya UKL-UPL yang dianggap tidak memadai. Kami menuntut transparansi penuh, terutama terkait dengan pengelolaan dan siapa saja yang terlibat dalam rekrutmen tenaga kerja,” ujar Muhidin dengan tegas.
Warga yang hadir dalam aksi tersebut semakin menguatkan keresahan mereka terkait dugaan mafia proyek yang dapat merugikan masyarakat. Dalam tuntutannya, mereka juga menyatakan bahwa kehadiran Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Provinsi Banten sangat diperlukan untuk memberikan penjelasan terkait masalah ini. Massa menyampaikan permintaan tegas agar Kadinkes hadir dalam waktu 3x24 jam untuk menjawab pertanyaan masyarakat. "Jika dalam tenggat waktu tersebut Kadinkes tidak datang, kami akan melanjutkan aksi dengan massa yang lebih besar," tegas Muhidin.
Respon RSUD Labuan: Terbuka untuk Dialog
Sekretaris Dinas Kesehatan Provinsi Banten, Tb. Lili Nazaruddin, merespon tuntutan tersebut dengan menyatakan kesediaannya untuk berdialog. "Kami selalu terbuka untuk berdiskusi dan memberikan ruang bagi masyarakat untuk berbicara. Kami ingin menyelesaikan masalah ini dengan cara yang baik," kata Lili.
Namun, meskipun penjelasan telah diberikan terkait izin lingkungan yang menyatakan bahwa RSUD Labuan hanya membutuhkan UKL-UPL karena luas lahan rumah sakit kurang dari 10.000 meter persegi, hal ini tidak cukup meredakan kekecewaan warga. Masyarakat menganggap penjelasan tersebut tidak memadai dan tidak mampu menjawab keresahan yang telah lama membara.
Tantangan Transparansi dalam Birokrasi
Masalah yang terjadi di RSUD Labuan tidak hanya mencerminkan adanya kesalahan dalam pengelolaan proyek tersebut, tetapi juga menunjukkan kelemahan dalam sistem birokrasi yang ada. Eko Supriatno, seorang pengamat kebijakan publik dan dosen Universitas Mathla'ul Anwar (UNMA) Banten, menilai bahwa ketidakmampuan sistem birokrasi dalam menjalankan fungsi pengawasan secara efektif telah membuka celah bagi praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang. “Proyek pembangunan rumah sakit yang mestinya dapat meningkatkan kualitas layanan kesehatan masyarakat, justru memperlihatkan bagaimana kepentingan pribadi mengalahkan kepentingan publik,” ujarnya.
Eko juga mengkritisi sistem birokrasi yang dinilai memberikan ruang terlalu besar bagi oknum-oknum untuk memanipulasi anggaran, melakukan rekrutmen tenaga kerja yang tidak transparan, serta menciptakan praktik pungutan liar yang merugikan masyarakat. “Masyarakat sudah lelah dengan janji-janji kosong dari pemerintah. Mereka menuntut bukti nyata dan tindakan tegas,” lanjut Eko.
Lebih lanjut, Eko menyampaikan kritik terhadap kurangnya transparansi dalam proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Menurutnya, proses AMDAL seharusnya melibatkan masyarakat secara langsung untuk memberi masukan yang berarti, bukan sekadar menjadi formalitas administratif. “Proses seperti ini harus melibatkan masyarakat dari awal hingga akhir. Jangan hanya terkesan sebagai formalitas,” kata Eko.
Urgensi Pembentukan Perda Pengelolaan Limbah Medis
Selain isu mengenai transparansi pengelolaan proyek rumah sakit, Eko juga menyoroti pentingnya pembentukan Peraturan Daerah (Perda) terkait pengelolaan limbah medis di rumah sakit. “Pengelolaan limbah medis harus diawasi secara ketat. Tanpa regulasi yang jelas, dampak negatifnya akan sangat besar bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat,” ujarnya. Menurut Eko, pengesahan Perda tentang pengelolaan limbah medis akan memberikan dasar hukum yang kuat bagi pengelolaan limbah rumah sakit yang ramah lingkungan dan aman bagi masyarakat.
Ia mengusulkan agar proyek-proyek pembangunan publik seperti RSUD Labuan dilaksanakan dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan keberlanjutan. “Pembangunan RSUD Labuan adalah proyek penting bagi masyarakat. Namun, itu harus dilakukan dengan cara yang tidak hanya mengutamakan akses layanan kesehatan, tetapi juga menjaga lingkungan dan sosial masyarakat sekitar,” tambahnya.
Eko menekankan bahwa untuk mencapai tujuan keberlanjutan dalam proyek pembangunan rumah sakit, perlu ada kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan pihak terkait lainnya. Setiap proyek publik, terutama yang berkaitan dengan sektor kesehatan, harus dilaksanakan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas. “Masyarakat harus diberdayakan untuk terlibat dalam setiap tahap pembangunan agar proyek ini tidak hanya memberikan manfaat jangka pendek, tetapi juga keberlanjutan jangka panjang,” pungkasnya.
Meskipun pembangunan RSUD Labuan diharapkan dapat menjadi simbol harapan bagi peningkatan layanan kesehatan di Provinsi Banten, masalah yang muncul di sekitarnya menunjukkan adanya tantangan besar yang harus segera diatasi. Pemerintah daerah harus lebih serius dan responsif terhadap tuntutan masyarakat agar proyek ini bisa berjalan sesuai dengan harapan tanpa merugikan kepentingan publik.
Dengan segala kontroversi yang melilit, nasib pembangunan RSUD Labuan kini berada di persimpangan. Apakah proyek ini akan memenuhi harapan masyarakat atau justru terjebak dalam praktik-praktik buruk yang merugikan, hanya waktu yang akan menjawab. Tetapi satu hal yang pasti, tuntutan warga untuk transparansi dan akuntabilitas tidak dapat diabaikan begitu saja. *** (Wan/ES).
COMMENTS