Sulbar, RN Argumen ini disusun sebagai bentuk klarifikasi, pembelaan, dan analisis yuridis terhadap proses hukum yang sedang dihadapi oleh K...
Sulbar, RN
Argumen ini disusun sebagai bentuk klarifikasi, pembelaan, dan analisis yuridis terhadap proses hukum yang sedang dihadapi oleh Kepala Desa Tanambuah, yang sebagai warga negara Indonesia memiliki hak hukum dan hak atas keadilan untuk dilindungi oleh konstitusi dan peraturan perundang undangan.
Analisis ini sekaligus dimaksudkan untuk meredam rumor dan opini negatif yang tengah beredar di berbagai kanal media sosial di Sulawesi Barat. Fokus utama analisis adalah penetapan status tersangka oleh Penyidik Polresta Mamuju serta audit investigasi Inspektorat Kabupaten Mamuju yang dinilai cacat prosedur.
Selain itu, analisis ini menegaskan bahwa pemberhentian Kepala Desa hanya dapat dilakukan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkrah) sesuai ketentuan Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, PP Nomor 43 Tahun 2014, dan peraturan turunannya.
DASAR HUKUM TERKAIT PEMBERHENTIAN KEPALA DESA
Berdasarkan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, PP No. 43 Tahun 2014, serta Permendagri No. 82 Tahun 2015 jo. Permendagri No. 66 Tahun 2017, pemberhentian Kepala Desa hanya dapat dilakukan melalui mekanisme yang ketat dengan syarat utama sebagai berikut:
1.Kepala Desa dapat diberhentikan secara tetap apabila:
- Telah dinyatakan sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkrah); dan Terbukti melakukan tindak pidana, termasuk tindak pidana korupsi.
2.Pemberhentian sementara dapat dilakukan apabila:
- Kepala Desa ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi atau tindak pidana dengan ancaman pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun; dan
- Penetapan tersangka dilakukan secara sah, objektif, dan sesuai standar hukum acara pidana.
III. CACAT HUKUM DALAM PENETAPAN TERSANGKA DAN STATUS DPO PALSU
Penetapan tersangka terhadap Kepala Desa Tanambuah oleh Penyidik Polresta Mamuju diduga mengandung cacat hukum karena:
1.Kepala Desa hanya pernah diperiksa satu kali, yakni pemeriksaan resmi tahun 2024 dengan pembuatan BAP, dan setelah itu tidak pernah lagi diberikan kesempatan pemeriksaan lanjutan untuk menyampaikan klarifikasi, pembelaan, maupun menghadirkan bukti bukti yang meringankan.
2.Penetapan tersangka tetap dikeluarkan meskipun alat bukti yang dikumpulkan belum memenuhi standar minimal dua alat bukti yang sah sebagaimana disyaratkan KUHAP dan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU XII/2014.
3.Terdapat indikasi ketidaksesuaian prosedur penyidikan karena tidak adanya permintaan dan persetujuan tertulis dari Bupati/Wali Kota untuk memeriksa Kepala Desa, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang undangan yang dimaksudkan untuk mencegah pemeriksaan sewenang wenang terhadap Kepala Desa.
Selain itu, status Daftar Pencarian Orang (DPO) yang disematkan kepada Kepala Desa Tanambuah oleh oknum Penyidik Polresta Mamuju patut dinyatakan tidak sah dan bersifat fiktif/palsu secara yuridis. Secara faktual, identitas yang bersangkutan tidak tercantum dalam sistem dan laman resmi Daftar Pencarian Orang milik Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Polri pada alamat https://pusiknas.polri.go.id/dpo yang menjadi basis data nasional Daftar Pencarian Orang (DPO).
Masyarakat Sulbar, khususnya di wilayah Mamuju, dapat melakukan pengecekan mandiri dengan memasukkan nama “Muh Nasrullah” atau memilih klasifikasi Kejahatan Korupsi pada laman tersebut dan akan mendapati bahwa nama yang bersangkutan tidak terdaftar sebagai DPO resmi Polri. Dalam era keterbukaan informasi publik, sangat tidak dapat dibenarkan apabila Polresta Mamuju membuat dan menyebarluaskan status DPO atas nama Muh Nasrullah dengan memakai label Polri, padahal tidak didukung oleh pencatatan dalam sistem Pusiknas Polri; tindakan demikian yang dilakukan oleh oknum Penyidik Tipidkor Polresta Mamuju merupakan bentuk persekusi terhadap Kepala Desa Tanambuah yang menguatkan intimidasi, kriminalisasi, dan fitnah serius terhadap yang bersangkutan.
Praktik demikian tidak hanya melanggar hak asasi dan hak hukum warga negara, tetapi juga sangat mencederai, mencoreng, sekaligus merusak nama baik institusi Kepolisian di tengah sorotan publik terkait pembentukan Komisi Percepatan Reformasi Polri oleh Bapak Presiden Prabowo Subianto.
Ketiadaan nama Kepala Desa Tanambuah dalam basis data resmi Pusiknas Polri menguatkan bahwa status DPO yang diumumkan hanyalah persekusi yang dilandasi oleh konstruksi administratif sepihak yang tidak memiliki legitimasi hukum yang memadai. Status DPO Kepala Desa Tanambuah tersebut tidak dapat dijadikan dasar tindakan hukum apa pun dan justru menunjukkan adanya dugaan penyalahgunaan kewenangan serta pelanggaran asas legalitas dan profesionalitas dalam proses penegakan hukum. Dengan demikian, penetapan tersangka yang cacat hukum, beserta status DPO palsu/fiktif yang tidak sah, sama sekali tidak dapat dijadikan landasan untuk pemberhentian sementara, apalagi pemberhentian tetap terhadap Kepala Desa Tanambuah.
IV. CACAT PROSEDUR AUDIT INSPEKTORAT KABUPATEN MAMUJU
Audit investigasi yang dilakukan oleh Inspektorat Kabupaten Mamuju juga diduga tidak sah karena:
1.Surat Tugas Audit menetapkan jangka waktu pelaksanaan selama 10 (sepuluh) hari kalender dengan Surat Tugas Nomor 800.1.11.1/139/2025 yang dilaksanakan oleh delapan orang tim Inspektorat Kabupaten Mamuju.
2.Namun pada kenyataannya, audit hanya dilakukan sekitar 1 (satu) jam, tanpa pemeriksaan dokumen yang memadai, tanpa wawancara mendalam, dan tanpa mengikuti tahapan prosedur audit yang lazim dan standar.
3.Aparat Desa Tanambuah seluruhnya siap bersaksi bahwa audit tersebut tidak pernah dilaksanakan sesuai ketentuan dan jangka waktu yang tercantum di Surat Tugas.
4.Audit yang dilakukan secara tidak profesional, tidak objektif, serta tidak sesuai masa kerja surat tugas adalah cacat hukum dan tidak dapat dijadikan dasar laporan, rekomendasi, maupun pembenaran kebijakan apa pun terhadap Kepala Desa Tanambuah.
V. DUGAAN PERAN CAMAT SAMPAGA DALAM KRIMINALISASI
Selain kejanggalan dalam proses penyidikan dan audit, terdapat dugaan keras adanya peran Camat Sampaga, Muhammad Yusuf, dalam rangkaian upaya kriminalisasi terhadap Kepala Desa Tanambuah. Dugaan ini antara lain didasarkan pada fakta bahwa yang bersangkutan tampil sebagai orator di atas mobil komando dalam aksi demonstrasi tahun 2024 yang menuntut pemberhentian Kepala Desa Tanambuah; bukti digital berupa rekaman, foto, dan/atau video kegiatan tersebut masih tersimpan baik dan siap diajukan sebagai bukti petunjuk yang sah.
Dugaan keterlibatan tersebut semakin menguat karena dalam perkembangan perkara, Camat Sampaga diduga aktif mendorong percepatan penggantian Kepala Desa dengan senantiasa “menjual” atau mengatasnamakan Bupati Mamuju, DR. Hj. Sitti Sutinah Suhardi, S.H., M.Si., agar Kepala Desa Tanambuah segera diganti. Rekaman suara yang menggambarkan pola komunikasi demikian tersedia dalam jumlah memadai dan dapat dipertanggungjawabkan kepada Bupati Mamuju DR. Hj. Sitti Sutinah Suhardi, S.H., M.Si., sebagai pihak yang namanya kerap dibawa bawa oleh Muhammad Yusuf sebagai Kepala Kantor Kecamatan Sampaga Kabupaten Mamuju.
Pola desakan pergantian Kepala Desa itu secara nyata berkorelasi dengan munculnya penetapan tersangka yang diduga cacat hukum dan penyematan status DPO palsu/fiktif yang tidak tercatat dalam sistem resmi Pusiknas Polri, sehingga secara keseluruhan menimbulkan kesan kuat bahwa proses hukum terhadap Kepala Desa Tanambuah sarat intervensi dan berpotensi merupakan bentuk kriminalisasi.
Oleh karena itu, peran dan motif Camat Sampaga patut diuji secara objektif oleh aparat penegak hukum (Polri, Kejaksaan) dan/atau melalui mekanisme pengawasan internal Pemerintah Daerah (Inspektorat, BKD, dan sebagainya), guna memastikan tidak terjadi penyalahgunaan jabatan maupun intervensi yang melampaui kewenangannya dalam proses penegakan hukum terhadap Kepala Desa Tanambuah.
VI. PROSEDUR PEMBERHENTIAN DAN PENGGANTIAN KEPALA DESA
A. Pemberhentian Sementara
•Hanya dapat dilakukan apabila penetapan tersangka sah dan memenuhi standar hukum acara pidana.
•Jangka waktu maksimal 1 (satu) tahun, dan wajib dievaluasi kembali apabila proses peradilan belum menghasilkan putusan berkekuatan hukum tetap.
B. Pemberhentian Tetap
•Wajib didasarkan pada putusan pengadilan yang telah inkrah.
•Tidak boleh hanya berdasarkan audit Inspektorat, laporan masyarakat, atau penetapan tersangka semata tanpa proses hukum yang tuntas sampai putusan berkekuatan hukum tetap.
C. Pengisian Jabatan Kepala Desa
1.Jika sisa masa jabatan kurang dari 1 (satu) tahun:
Bupati menunjuk PNS sebagai Penjabat (Pj.) Kepala Desa hingga masa jabatan berakhir.
2.Jika sisa masa jabatan lebih dari 1 (satu) tahun: Bupati menunjuk Pj. Kepala Desa dari unsur PNS. Selanjutnya, BPD Desa Tanambuah menyelenggarakan Pemilihan Antar Waktu (PAW) melalui Musyawarah Desa, sesuai ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku.
VII. LANGKAH STRATEGIS DAN SARAN TINDAK LANJUT
1.Langkah BPD Tanambuah untuk koordinasi sampai ke Bupati Mamuju
Camat Sampaga diketahui telah lebih dahulu mengajukan draft pemberhentian dan pengusulan Penjabat (Pj.) Kepala Desa Tanambuah. Untuk menjaga objektivitas dan kemandirian Desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Tanambuah disarankan segera menyelenggarakan rapat internal dan menetapkan keputusan bahwa untuk sementara tugas tugas Kepala Desa dilaksanakan oleh Sekretaris Desa sebagai pelaksana harian. Pertimbangan utama keputusan ini adalah adanya proses pembelaan hukum yang sedang berjalan terhadap penetapan tersangka dan status DPO yang dinilai cacat prosedural, sehingga pemerintahan desa tetap berjalan tanpa memutus hak hukum Kepala Desa aktif. Keputusan BPD tersebut sebaiknya disampaikan langsung kepada Bupati Mamuju, Dr. Hj. Sitti Sutinah Suhardi, S.H., M.Si., bukan melalui Camat, guna menghindari distorsi informasi maupun intervensi yang melampaui kewenangan.
2.Kritik substantif terhadap penetapan kerugian negara oleh Inspektorat Mamuju
•Proses audit diduga kuat tidak sesuai standar operasional prosedur (SOP) audit yang wajar dan profesional.
•Terdapat inkonsistensi mencolok terkait angka kerugian negara: semula sekitar Rp800 juta, kemudian berubah menjadi Rp600 juta, lalu Rp495 juta, berikutnya Rp547 juta, sementara dalam PKKN yang disampaikan ke kepolisian tercantum sekitar Rp480 juta. Di sisi lain, Inspektorat pernah merilis daftar kerugian negara tahun 2018–2024 tanpa mencantumkan Desa Tanambuah, padahal objek audit untuk Tanambuah adalah tahun 2022–2023 sehingga secara logis seharusnya tercatat apabila memang ada kerugian negara.
• Dalam proses tekanan dari Inspektorat, pihak desa pernah menunjukkan sikap kooperatif dengan melakukan pengembalian sekitar Rp20 juta, dengan harapan dilakukan pembinaan karena dianggap hanya terdapat kesalahan administratif tanpa unsur niat jahat (mens rea). Namun fungsi pembinaan yang menjadi mandat Inspektorat justru diabaikan.
• Pada saat rilis PKKN, Inspektorat tidak pernah melakukan expose atau paparan resmi atas LHP untuk Desa Tanambuah, sehingga tidak tersedia ruang sanggah dan klarifikasi dari pihak Desa Tanambuah. Hal ini dapat dijadikan dasar untuk menolak validitas klaim kerugian negara yang patut diduga sebagai konstruksi sepihak.
• Strategi pembelaan harus menghindari konflik horizontal di tengah masyarakat. Saat ini mayoritas warga masih menaruh kepercayaan kepada Kepala Desa Tanambuah dan menilai situasi desa berjalan baik, pelayanan masyarakat di kantor desa tanambuah masih berjalan baik, bahkan jumat pekan lalu Kepala Desa Tanambuah masih melakukan zoom untuk pembinaan aparat desa sehingga basis kepercayaan sosial tersebut perlu dijaga sebagai modal dukungan langsung dari masyarakat.
• Dalam perhitungan pekerjaan fisik, secara prinsip penilaian teknis yang menyeluruh seharusnya dilakukan oleh dinas teknis (misalnya Dinas PUPR), bukan oleh Inspektorat. Faktanya, tim PUPR hanya dilibatkan untuk menghitung volume pekerjaan, sementara perhitungan biaya dan kerugian tetap dilakukan sepihak oleh Inspektorat; padahal secara metodologis tim teknis lah yang seharusnya menghitung keseluruhan aspek teknis maupun nilai pekerjaan tersebut. Hal ini semakin janggal karena setiap kegiatan atau pekerjaan fisik yang dilaksanakan di Desa Tanambuah pada dasarnya merupakan hasil persetujuan asistensi teknis oleh Dinas PU Kabupaten Mamuju, sehingga penilaian ulang secara sepihak oleh Inspektorat tanpa pelibatan penuh dinas teknis layak dipertanyakan dari sisi profesionalitas maupun akurasinya.
3. Langkah komunikasi dan koordinasi dengan Bupati Mamuju
Mengenai langkah BPD, pertajam komunikasi yang intens dan aktif, keberatan atas proses audit, dan indikasi kriminalisasi, seluruhnya perlu didokumentasikan dengan baik dan disampaikan secara lengkap kepada Bupati Mamuju, Dr. Hj. Sitti Sutinah Suhardi, S.H., M.Si., sebagai pemimpin tertinggi di wilayah Kabupaten Mamuju. Penyampaian langsung kepada Bupati dimaksudkan agar kepala daerah memperoleh gambaran utuh mengenai dugaan cacat prosedur, sikap kooperatif Pemerintah Desa, serta potensi penyalahgunaan kewenangan oleh aparat kecamatan maupun Inspektorat Kabupaten Mamuju.
Dokumen dan kronologi lengkap tersebut kemudian dapat menjadi dasar penyusunan untuk melakukan pembelaan lanjutan, baik dalam pelaporan etik dan pengawasan terhadap aparat kecamatan dan Inspektorat, maupun dalam membangun kontra narasi yang proporsional di ruang publik. Setiap perkembangan terbaru dari proses pengawasan internal maupun penanganan perkara pidana perlu terus dimonitor dan diintegrasikan ke dalam pembelaan berdasar fakta, sehingga langkah hukum dan langkah politik administratif berjalan selaras dan saling menguatkan.
VIII. KESIMPULAN UMUM
Berdasarkan analisis normatif, fakta prosedural, dan langkah komunikasi strategis di atas:
1. Penetapan tersangka terhadap Kepala Desa Tanambuah diduga kuat cacat hukum dan tidak memenuhi standar penetapan tersangka sebagaimana diatur dalam KUHAP dan Putusan Mahkamah Konstitusi.
2. Status DPO terhadap Kepala Desa Tanambuah terbukti tidak tercatat dalam sistem resmi Pusiknas Polri sehingga patut dinilai sebagai bentuk intimidasi, menguatkan kriminalisasi atas status DPO palsu/fiktif yang tidak memiliki dasar administrasi maupun legal yang sah.
3. Audit investigasi yang dilakukan oleh Inspektorat Kabupaten Mamuju yang dijadikan dasar laporan juga cacat secara administratif dan substantif sehingga tidak layak dijadikan rujukan kebijakan ataupun dasar pemberhentian Kepala Desa.
4. Terdapat dugaan keras adanya peran dan intervensi Camat Sampaga, Muhammad Yusuf, dalam mendorong kriminalisasi dan percepatan penggantian Kepala Desa Tanambuah melalui mobilisasi aksi massa dan tekanan politik yang selalu mengatasnamakan Bupati Mamuju Dr. Hj. Sitti Sutinah Suhardi, S.H.,M.Si., padahal belum ada putusan pengadilan berkekuatan tetap (inkrah) yang menyatakan Kepala Desa bersalah.
5. Kepala Desa Tanambuah, sebagai warga negara Indonesia yang dijamin hak haknya oleh UUD 1945 dan KUHAP, tidak dapat diberhentikan sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, dan setiap proses pemberhentian atau penggantian yang dilakukan tanpa memenuhi syarat hukum yang ketat berpotensi menimbulkan sengketa hukum serta kerugian bagi Pemerintah Daerah maupun masyarakat Desa Tanambuah.
Argumen ini, dalam perspektif pribadi sebagai Advokat yang mendampingi Kepala Desa Tanambuah, diharapkan menjadi acuan objektif bagi masyarakat, media, dan para pemangku kepentingan dalam melihat duduk perkara yang sebenarnya, serta memastikan agar setiap tindakan Pemerintah Daerah, Inspektorat Kabupaten Mamuju, aparat kecamatan, maupun penyidik kepolisian tetap berada dalam koridor hukum yang benar, menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah, dan menghormati hak hak Kepala Desa Tanambuah sebagai warga negara Indonesia. (orang gagah, 30 November 2025)
(Rls/Tim Hukum)





COMMENTS