Radar Nusantara Grup Lippo terus menggarap megaproyek Meikarta. Selain gencar memasarkan proyek kota baru di Cikarang, Jawa Barat it...
Grup
Lippo terus menggarap megaproyek Meikarta. Selain gencar memasarkan
proyek kota baru di Cikarang, Jawa Barat itu kepada masyarakat,
pembangunan fisik proyek tersebut juga tengah berjalan. Padahal, proyek
senilai Rp 278 triliun itu masih terbelit masalah perizinan.
Saat Katadata mendatangi lokasi proyek itu, medio September lalu, terlihat puluhan truk besar membawa gundukan tanah berlalu-lalang di sepanjang jalur Desa Cibatu, Cikarang Selatan, Kabupaten Bekasi.
Suara alat bor terdengar nyaring dari jarak 100 meter. Beberapa mesin berbendera "Borland" dan "Caisson Dimensi" itu sedang digunakan untuk memasang tiang pancang.
"Pengerjaannya dari pagi sampai malam tak berhenti," kata Sumeri, warga yang tinggal di dekat lokasi proyek.Bersama 20 kepala keluarga, pria berusia 56 tahun ini memilih bertahan tinggal di sekitar lokasi proyek dan menampik tawaran pembelian lahan dari PT Lippo Cikarang Tbk.
Selama puluhan tahun mereka menggarap lahan tidur untuk bertani dan menanam palawija. Namun, sejak Bulan Ramadan lalu, Lippo membangun tembok pembatas setinggi dua meter untuk memisahkan pemukiman penduduk dengan lokasi proyek.
Tak hanya aktivitas pembangunan fisik di lapangan, sejak Mei lalu Lippo aktif memasarkan Meikarta, baik lewat penawaran langsung oleh ribuan agen pemasaran maupun iklan massif di berbagai media massa dan papan reklame.
Grup Lippo berambisi membangun kota baru dengan mendirikan 100 gedung untuk apartemen dan perkantoran. Pembangunan menara apartemen ditargetkan selesai akhir tahun depan dan siap huni pada 2019.
Di balik gegap gempita penawaran dan iklan Meikarta, masih terdapat berbagai persoalan yang mengganjal proyek tersebut. Katadatadan Hukumonline berkolaborasi menganalisis rangkaian proses dalam proyek calon kota baru ini.
Menyalahi aturan tata ruang
Puluhan tahun sebelum proyek Meikarta, Lippo Cikarang mengantongi izin pencadangan tanah untuk kegiatan industri. Izin itu beralaskan Surat Bupati Bekasi Nomor: 593/2684/Bappeda pada 10 Agustus 1994 tentang permohonan konfirmasi pencadangan tanah.
Selanjutnya lewat Surat Gubernur Jawa Barat Nomor: 593.82/SK.576-PEM.UM/94 pada 29 Maret 1994, Lippo mendapat persetujuan lokasi, penggunaan dan izin pembebasan tanah seluas 3.250 hektare (ha).
Belakangan, Pemerintah Kabupaten Bekasi mengubah rencana tata ruang dan wilayah (RTRW). Pemkab Bekasi terakhir kali memperbarui RTRW untuk periode 2011-2031 yang diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi Nomor 12 Tahun 2011.
Dalam RTRW terbaru itu, Pemkab Bekasi membagi menjadi empat wilayah pengembangan (WP), yakni kawasan Bekasi bagian tengah (WP I), Bekasi bagian selatan (WP II), Bekasi bagian timur (WP III), dan Bekasi bagian Utara (WP IV). Tak ada penyebutan kawasan Lippo Cikarang dalam RTRW tersebut.
Setelah enam tahun menyelesaikan RTRW, Pemkab Bekasi menyelesaikan pembahasan zonasi kawasan dalam rancangan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Rancangan RDTR ini mulai dibahas Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bekasi pada April 2017.
Hanya dalam kurun satu bulan, Panitia Khusus DPRD merampungkan RDTR itu. Lewat sidang paripurna pada 10 Mei 2017, DPRD menyetujui sebagai rancangan peraturan daerah RDTR.
“Kami tak perlu membahas terlalu lama karena teknis perencanaan tata ruang telah disusun pemerintah,” kata anggota DPRD Kabupaten Bekasi, Yudi Darmansyah.
Berbeda dengan RTRW, rancangan RDTR mengatur wilayah lebih detail. Berdasarkan dokumen rancangan RDTR yang dimiliki Katadata, Lippo Cikarang sudah masuk di wilayah pengembangan I di wilayah Cikarang Selatan. Lahan Lippo Cikarang itu berada di tiga desa: Desa Cibatu, Desa Sukaresmi, dan Desa Serang.
Dua hari setelah rapat paripurna mengesahkan rancangan RDTR, Lippo Cikarang mendapat Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT) seluas 84,6 ha dari pengajuan awalnya 140 ha. Izin itu untuk pembangunan komersial area apartemen, pusat perbelanjaan, rumah sakit, sekolah, hotel, perumahan dan perkantoran yang terletak di Desa Cibatu, Cikarang Selatan.
Dalam dokumen IPPT yang salinannya diperoleh Katadata disebutkan, Lippo Cikarang telah menguasai lahan yang dibuktikan dalam sertifikat Hak Guna Bangunan. "Berdasarkan pertimbangan penguasaan lahan, Lippo Cikarang memenuhi syarat untuk diberikan IPPT," bunyi putusan Bupati Bekasi, Neneng Hasanah Yasin.
Menurut Vice President Eastern Region Organization for Planning and Human Settlement (EAROPH) Bernardus Djonoputro, IPPT seharusnya tak dikeluarkan sebelum RDTR selesai dibahas dan disetujui oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Hal ini mengacu kepada Undang-undang Nomor 12 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Pembangunan dan Pengembangan Metropolitan dan Pusat Pertumbuhan di Jawa Barat.
Pasal 10 huruf f UU itu menyatakan perizinan pembangunan pada bidang-bidang yang bersifat strategis berskala metropolitan, lintas daerah serta lintas pemerintahan dan/atau berimplikasi skala metroplitan menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota setelah mendapat rekomendasi dari Gubernur. Jadi, “IIPT seharusnya menunggu selesainya rekomendasi dari Pemprov Jawa Barat,” kata Bernardus.
Pejabat pemerintah pun seharusnya mematuhi aturan tata ruang yang berlaku. Berdasarkan Pasal 37 ayat 7 pada UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyatakan, setiap pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan izin pemanfaatan ruang dilarang menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.
Pejabat pemerintah yang menerbitkan izin tidak sesuai dengan rencana tata ruang, terancam,pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda maksimal Rp 500 juta. Selain sanksi pidana, pelaku dapat diberhentikan secara tidak hormat.
Belum memiliki Amdal dan IMB
Setelah mengantongi IPPT dari Bupati Bekasi, Lippo Cikarang mengurus permohonan permintaan izin lingkungan dan analisa dampak lingkungan ke Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi. Izin lingkungan dan Amdal ini merupakan syarat pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
Project Development Lippo Cikarang Edi Triyanto mengatakan, pihaknya telah mengajukan izin lingkungan sejak Mei 2017. Bahkan, Lippo telah membayar IMB ke Pemkab Bekasi pada 9 Juni 2017. Jumlahnya mencapai puluhan miliar.
"Dari Mei kami ajukan sebenarnya sudah hampir selesai Amdal itu, pada 9 Juni kami sudah bayar IMB yang berjalan paralel. Amdal Lalu-lintas juga sudah berjalan waktu itu. Hanya saja di situ terpotong karena kabupaten menerima surat dari provinsi untuk menghentikan Amdal dulu," kata Edi.
Berbekal kewenangan mengatur RDTR Kabupaten Bekasi, Pemprov Jabar memperingatkan Pemkab Bekasi agar tak melanjutkan proses pemberian izin lingkungan dan Amdal yang diajukan oleh Lippo Cikarang. Izin lingkungan dan Amdal ini merupakan syarat pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
"Proses penilaian dokumen lingkungan dari usaha dan/atau kegiatan yang akan dilaksanakan (Kota Baru Meikarta), dapat dilakukan setelah ada rekomendasi dari Gubernur Jawa Barat," bunyi surat Kepala Dinas Lingkungan Hidup Pemprov Jawa Barat Anang Sudarna bertanggal 15 Agustus 2017.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi Daryanto pun menyatakan proses izin Amdal Meikarta yang diajukan Lippo sedang dihentikan. “Kami menunggu rekomendasi Pemprov Jabar,” kata Daryanto.
Tak penuhi syarat pemasaran
Sehari setelah mengantongi IPPT, Lippo menggelar grand launching Kota Baru Meikarta di Maxxbox Cikarang, Sabtu, 13 Mei 2017. Sejak itu, Lippo memobilisasi sekitar 10 ribu agen pemasaran untuk menawarkan langsung hunian di Meikarta.
Yang ditawarkan adalah apartemen dengan beragam tipe. Calon penghuni cukup membayar booking fee atau NUP (Nomor Urut Pemesanan) sebesar Rp 2 juta per unit. Pihak pemasaran Meikarta menjanjikan akan mengganti kembali (refund) dana itu bila konsumen membatalkan pemesanannya tanpa batas waktu.
Pemilik Grup Lippo, James Ryadi mengatakan, proyek ini berhasil menarik minat hingga 130 ribu orang. Bahkan, 32 ribu orang telah masuk dalam tahap cicilan.
Namun, kegiatan pemasaran itu mengundang sorotan karena Lippo sudah memasarkan produk yang belum memiliki izin. Persoalan izin yang belum tuntas ini membuat Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menghentikan pemasangan banner dan penawaran Meikarta di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, pada awal September.
Lippo bersikeras mengklaim kegiatan itu tak menyalahi prosedur karena merupakan pre-project selling dan belum memasuki tahap pemasaran. Argumen Lippo mendapat dukungan dari Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Syarif Burhanuddin.
Menurut Syarif, aktivitas penawaran Meikarta sebagai kegiatan untuk mengetahui kekuatan pasar, dan bukan termasuk pemasaran maupun Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB).
“Selama ini mereka sebenarnya melakukan NUP (nomor urut pemesanan) untuk mengetahui pasar. Sifatnya hanya untuk mengetahui kekuatan pasar, dan apabila batal maka uangnya kembali,” kata Syarif kepada Katadata, Rabu (20/9).
Berdasarkan penelusuran Katadata dan Hukumonline, aktivitas promosi atau penawaran Meikarta berupa “pengecekan kekuatan pasar” atau “melakukan NUP” tidak dikenal di dalam peraturan perundang-undangan.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun memuat persyaratan detail sebelum pengembang melakukan kegiatan pemasaran maupun PPJB. Pada Pasal 42 dinyatakan, pengembang sebelum melakukan pemasaran harus memenuhi lima syarat: kepastian peruntukan ruang, kepastian hak tanah, kepastian status kepemilikan, IMB dan jaminan atas pembangunan yang ditunjukkan berupa surat dukungan bank atau nonbank.
Sedangkan kegiatan PPJB diatur dalam UU Rusun pasal 43. Persyaratan bagi pengembang dalam PPJB adalah status kepemilikan tanah, IMB, ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum, keterbangunan paling sedikit 20% dan hal yang diperjanjikan.
Berbagai persyaratan kegiatan pemasaran maupun PPJB hingga kini belum dipenuhi pengembang Meikarta. "Secara legal yuridis apabila transaksi dilakukan tanpa memenuhi aturan undang-undang akan membuat posisi konsumen dalam posisi lemah," kata Staff Pengaduan dan Hukum YLKI Mustafa Aqib Bintoro.
Selain itu, berdasarkan penelusuran Katadata dan Hukumonline, informasi mengenai pengembalian booking fee hanya terdapat dalam iklan Meikarta. Sementara berdasarkan dokumen Ketentuan dan Syarat-syarat Umum yang terdapat dalam website resmi Meikarta, terdapat klausul yang mengatur booking fee tak dapat dikembalikan karena kelalaian pemesan.
Ketentuan ini diatur dalam pasal 10.1 yang berbunyi: penerima pesanan berhak untuk setiap saat memutuskan dan membatalkan penegasan pemesanan secara sepihak.
Selanjutnya diatur dalam pasal 10.2: akibat yang timbul dari adanya pemutusan penegasan pemesanan oleh penerima pesanan sebagai akibat kelalaian pemesan sebagaimana diatur dalam pasal 10.1, maka: uang yang telah yang telah dibayar oleh pemesan kepada pemerima pesanan antara lain booking fee, seluruh Down Payment, serta pajak-pajak yang telah disetorkan tidak dapat dikembalikan kepada pemesan (pasal 10.2a).
Berdasarkan informasi salah seorang pemesan, ketentuan ini merupakan bagian dari perjanjian yang ditandatangani ketika konsumen membayar uang muka pembelian apartemen.
Iklan tak sesuai kenyataan
Selain penawaran langsung, Meikarta gencar berpromosi lewat iklan di berbagai media sejak Mei lalu. Berdasarkan data situs Adtensity, rata-rata iklan Meikarta yang tayang di 10 stasiun televisi diputar 353 kali dalam seminggu. Setiap pekannya, biaya iklan sekitar Rp 40 miliar.
Iklan Meikarta dapat dikategorikan sebagai kegiatan pemasaran atau promosi sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pada Pasal 1 angka 6 UU itu menyebutkan, promosi adalah kegiatan pengenalan atau penyebarluasan informasi untuk menarik minat beli konsumen terhadap barang dan/atau jasa yang akan dan sedang diperdagangkan.
Komisioner Ombudsman RI Alamsyah Saragih telah meminta Lippo Cikarang menghentikan penayangan iklan karena termasuk kegiatan pemasaran. Sebab, Lippo hingga kini belum mendapatkan izin sebagai persyaratan kegiatan pemasaran. "Bagi kami sekali lagi itu adalah marketing dan tidak boleh dilakukan sebagaimana di UU Nomor 20 Tahun 2011. Itu salah," katanya.
Sebaliknya, Direktur Komunikasi Lippo Group Danang Kemayan Jati membantah jika iklan yang disiarkan tersebut melanggar hukum karena iklan itu bukan bagian dari pemasaran. Iklan itu merupakan bagian dari pre-selling yang dilakukan bersamaan dengan pengajuan izin yang sedang dilakukan.
"Iklan itu memang paralel dengan izin-izin yang sedang kami ajukan dan itu tidak melanggar. Jadi ada perbedaan antara izin pembangunan dengan marketing, itu beda," kata Danang.
Alamsyah pun menyatakan iklan Meikarta terlalu bombastis atau tak sesuai kenyataan. Dalam iklannya, Lippo menyebutkan akan membangun Kota Baru Meikarta seluas 500 hektare. Namun, hingga rancangan RDTR Kabupaten Bekasi hanya memasukkan kawasan Lippo Cikarang seluas 84,6 hektare.
Sekretaris Menteri Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Imam Apriyanto Putro juga heran dengan iklan Meikarta yang menyebutkan lokasi proyek tersebut dekat dengan stasiun Light Rail Transit (LRT) Jakarta-Bogor-Depok-Bekasi dan stasiun kereta cepat Jakarta-Bandung.
Di hadapan DPR, Imam menjelaskan stasiun LRT paling ujung berlokasi di Bekasi Timur, jauh dari lokasi Meikarta. Pemerintah juga tidak ada rencana untuk membangun stasiun kereta cepat Jakarta-Bandung dekat Meikarta.
"Saya tidak mengerti kalau mereka mengkaitkan dengan proyek Meikarta, karena tidak ada stasiun di sekitar Meikarta," kata Imam di Badan Anggaran di Gedung DPR, Jakarta, Senin (25/9).
Aturan iklan ini harus mengikuti UU Perlindungan Konsumen, yakni menyajikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Pelanggaran atas persyaratan ini mendapat ancaman pidana penjara paling lama lima tahun atau denda maksimal Rp 2 miliar.
Saat Katadata mendatangi lokasi proyek itu, medio September lalu, terlihat puluhan truk besar membawa gundukan tanah berlalu-lalang di sepanjang jalur Desa Cibatu, Cikarang Selatan, Kabupaten Bekasi.
Suara alat bor terdengar nyaring dari jarak 100 meter. Beberapa mesin berbendera "Borland" dan "Caisson Dimensi" itu sedang digunakan untuk memasang tiang pancang.
"Pengerjaannya dari pagi sampai malam tak berhenti," kata Sumeri, warga yang tinggal di dekat lokasi proyek.Bersama 20 kepala keluarga, pria berusia 56 tahun ini memilih bertahan tinggal di sekitar lokasi proyek dan menampik tawaran pembelian lahan dari PT Lippo Cikarang Tbk.
Selama puluhan tahun mereka menggarap lahan tidur untuk bertani dan menanam palawija. Namun, sejak Bulan Ramadan lalu, Lippo membangun tembok pembatas setinggi dua meter untuk memisahkan pemukiman penduduk dengan lokasi proyek.
Tak hanya aktivitas pembangunan fisik di lapangan, sejak Mei lalu Lippo aktif memasarkan Meikarta, baik lewat penawaran langsung oleh ribuan agen pemasaran maupun iklan massif di berbagai media massa dan papan reklame.
Grup Lippo berambisi membangun kota baru dengan mendirikan 100 gedung untuk apartemen dan perkantoran. Pembangunan menara apartemen ditargetkan selesai akhir tahun depan dan siap huni pada 2019.
Di balik gegap gempita penawaran dan iklan Meikarta, masih terdapat berbagai persoalan yang mengganjal proyek tersebut. Katadatadan Hukumonline berkolaborasi menganalisis rangkaian proses dalam proyek calon kota baru ini.
Menyalahi aturan tata ruang
Puluhan tahun sebelum proyek Meikarta, Lippo Cikarang mengantongi izin pencadangan tanah untuk kegiatan industri. Izin itu beralaskan Surat Bupati Bekasi Nomor: 593/2684/Bappeda pada 10 Agustus 1994 tentang permohonan konfirmasi pencadangan tanah.
Selanjutnya lewat Surat Gubernur Jawa Barat Nomor: 593.82/SK.576-PEM.UM/94 pada 29 Maret 1994, Lippo mendapat persetujuan lokasi, penggunaan dan izin pembebasan tanah seluas 3.250 hektare (ha).
Belakangan, Pemerintah Kabupaten Bekasi mengubah rencana tata ruang dan wilayah (RTRW). Pemkab Bekasi terakhir kali memperbarui RTRW untuk periode 2011-2031 yang diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi Nomor 12 Tahun 2011.
Dalam RTRW terbaru itu, Pemkab Bekasi membagi menjadi empat wilayah pengembangan (WP), yakni kawasan Bekasi bagian tengah (WP I), Bekasi bagian selatan (WP II), Bekasi bagian timur (WP III), dan Bekasi bagian Utara (WP IV). Tak ada penyebutan kawasan Lippo Cikarang dalam RTRW tersebut.
Setelah enam tahun menyelesaikan RTRW, Pemkab Bekasi menyelesaikan pembahasan zonasi kawasan dalam rancangan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Rancangan RDTR ini mulai dibahas Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bekasi pada April 2017.
Hanya dalam kurun satu bulan, Panitia Khusus DPRD merampungkan RDTR itu. Lewat sidang paripurna pada 10 Mei 2017, DPRD menyetujui sebagai rancangan peraturan daerah RDTR.
“Kami tak perlu membahas terlalu lama karena teknis perencanaan tata ruang telah disusun pemerintah,” kata anggota DPRD Kabupaten Bekasi, Yudi Darmansyah.
Berbeda dengan RTRW, rancangan RDTR mengatur wilayah lebih detail. Berdasarkan dokumen rancangan RDTR yang dimiliki Katadata, Lippo Cikarang sudah masuk di wilayah pengembangan I di wilayah Cikarang Selatan. Lahan Lippo Cikarang itu berada di tiga desa: Desa Cibatu, Desa Sukaresmi, dan Desa Serang.
Dua hari setelah rapat paripurna mengesahkan rancangan RDTR, Lippo Cikarang mendapat Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT) seluas 84,6 ha dari pengajuan awalnya 140 ha. Izin itu untuk pembangunan komersial area apartemen, pusat perbelanjaan, rumah sakit, sekolah, hotel, perumahan dan perkantoran yang terletak di Desa Cibatu, Cikarang Selatan.
Dalam dokumen IPPT yang salinannya diperoleh Katadata disebutkan, Lippo Cikarang telah menguasai lahan yang dibuktikan dalam sertifikat Hak Guna Bangunan. "Berdasarkan pertimbangan penguasaan lahan, Lippo Cikarang memenuhi syarat untuk diberikan IPPT," bunyi putusan Bupati Bekasi, Neneng Hasanah Yasin.
Menurut Vice President Eastern Region Organization for Planning and Human Settlement (EAROPH) Bernardus Djonoputro, IPPT seharusnya tak dikeluarkan sebelum RDTR selesai dibahas dan disetujui oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Hal ini mengacu kepada Undang-undang Nomor 12 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Pembangunan dan Pengembangan Metropolitan dan Pusat Pertumbuhan di Jawa Barat.
Pasal 10 huruf f UU itu menyatakan perizinan pembangunan pada bidang-bidang yang bersifat strategis berskala metropolitan, lintas daerah serta lintas pemerintahan dan/atau berimplikasi skala metroplitan menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota setelah mendapat rekomendasi dari Gubernur. Jadi, “IIPT seharusnya menunggu selesainya rekomendasi dari Pemprov Jawa Barat,” kata Bernardus.
Pejabat pemerintah pun seharusnya mematuhi aturan tata ruang yang berlaku. Berdasarkan Pasal 37 ayat 7 pada UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyatakan, setiap pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan izin pemanfaatan ruang dilarang menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.
Pejabat pemerintah yang menerbitkan izin tidak sesuai dengan rencana tata ruang, terancam,pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda maksimal Rp 500 juta. Selain sanksi pidana, pelaku dapat diberhentikan secara tidak hormat.
Belum memiliki Amdal dan IMB
Setelah mengantongi IPPT dari Bupati Bekasi, Lippo Cikarang mengurus permohonan permintaan izin lingkungan dan analisa dampak lingkungan ke Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi. Izin lingkungan dan Amdal ini merupakan syarat pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
Project Development Lippo Cikarang Edi Triyanto mengatakan, pihaknya telah mengajukan izin lingkungan sejak Mei 2017. Bahkan, Lippo telah membayar IMB ke Pemkab Bekasi pada 9 Juni 2017. Jumlahnya mencapai puluhan miliar.
"Dari Mei kami ajukan sebenarnya sudah hampir selesai Amdal itu, pada 9 Juni kami sudah bayar IMB yang berjalan paralel. Amdal Lalu-lintas juga sudah berjalan waktu itu. Hanya saja di situ terpotong karena kabupaten menerima surat dari provinsi untuk menghentikan Amdal dulu," kata Edi.
Berbekal kewenangan mengatur RDTR Kabupaten Bekasi, Pemprov Jabar memperingatkan Pemkab Bekasi agar tak melanjutkan proses pemberian izin lingkungan dan Amdal yang diajukan oleh Lippo Cikarang. Izin lingkungan dan Amdal ini merupakan syarat pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
"Proses penilaian dokumen lingkungan dari usaha dan/atau kegiatan yang akan dilaksanakan (Kota Baru Meikarta), dapat dilakukan setelah ada rekomendasi dari Gubernur Jawa Barat," bunyi surat Kepala Dinas Lingkungan Hidup Pemprov Jawa Barat Anang Sudarna bertanggal 15 Agustus 2017.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi Daryanto pun menyatakan proses izin Amdal Meikarta yang diajukan Lippo sedang dihentikan. “Kami menunggu rekomendasi Pemprov Jabar,” kata Daryanto.
Tak penuhi syarat pemasaran
Sehari setelah mengantongi IPPT, Lippo menggelar grand launching Kota Baru Meikarta di Maxxbox Cikarang, Sabtu, 13 Mei 2017. Sejak itu, Lippo memobilisasi sekitar 10 ribu agen pemasaran untuk menawarkan langsung hunian di Meikarta.
Yang ditawarkan adalah apartemen dengan beragam tipe. Calon penghuni cukup membayar booking fee atau NUP (Nomor Urut Pemesanan) sebesar Rp 2 juta per unit. Pihak pemasaran Meikarta menjanjikan akan mengganti kembali (refund) dana itu bila konsumen membatalkan pemesanannya tanpa batas waktu.
Pemilik Grup Lippo, James Ryadi mengatakan, proyek ini berhasil menarik minat hingga 130 ribu orang. Bahkan, 32 ribu orang telah masuk dalam tahap cicilan.
Namun, kegiatan pemasaran itu mengundang sorotan karena Lippo sudah memasarkan produk yang belum memiliki izin. Persoalan izin yang belum tuntas ini membuat Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menghentikan pemasangan banner dan penawaran Meikarta di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, pada awal September.
Lippo bersikeras mengklaim kegiatan itu tak menyalahi prosedur karena merupakan pre-project selling dan belum memasuki tahap pemasaran. Argumen Lippo mendapat dukungan dari Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Syarif Burhanuddin.
Menurut Syarif, aktivitas penawaran Meikarta sebagai kegiatan untuk mengetahui kekuatan pasar, dan bukan termasuk pemasaran maupun Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB).
“Selama ini mereka sebenarnya melakukan NUP (nomor urut pemesanan) untuk mengetahui pasar. Sifatnya hanya untuk mengetahui kekuatan pasar, dan apabila batal maka uangnya kembali,” kata Syarif kepada Katadata, Rabu (20/9).
Berdasarkan penelusuran Katadata dan Hukumonline, aktivitas promosi atau penawaran Meikarta berupa “pengecekan kekuatan pasar” atau “melakukan NUP” tidak dikenal di dalam peraturan perundang-undangan.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun memuat persyaratan detail sebelum pengembang melakukan kegiatan pemasaran maupun PPJB. Pada Pasal 42 dinyatakan, pengembang sebelum melakukan pemasaran harus memenuhi lima syarat: kepastian peruntukan ruang, kepastian hak tanah, kepastian status kepemilikan, IMB dan jaminan atas pembangunan yang ditunjukkan berupa surat dukungan bank atau nonbank.
Sedangkan kegiatan PPJB diatur dalam UU Rusun pasal 43. Persyaratan bagi pengembang dalam PPJB adalah status kepemilikan tanah, IMB, ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum, keterbangunan paling sedikit 20% dan hal yang diperjanjikan.
Berbagai persyaratan kegiatan pemasaran maupun PPJB hingga kini belum dipenuhi pengembang Meikarta. "Secara legal yuridis apabila transaksi dilakukan tanpa memenuhi aturan undang-undang akan membuat posisi konsumen dalam posisi lemah," kata Staff Pengaduan dan Hukum YLKI Mustafa Aqib Bintoro.
Selain itu, berdasarkan penelusuran Katadata dan Hukumonline, informasi mengenai pengembalian booking fee hanya terdapat dalam iklan Meikarta. Sementara berdasarkan dokumen Ketentuan dan Syarat-syarat Umum yang terdapat dalam website resmi Meikarta, terdapat klausul yang mengatur booking fee tak dapat dikembalikan karena kelalaian pemesan.
Ketentuan ini diatur dalam pasal 10.1 yang berbunyi: penerima pesanan berhak untuk setiap saat memutuskan dan membatalkan penegasan pemesanan secara sepihak.
Selanjutnya diatur dalam pasal 10.2: akibat yang timbul dari adanya pemutusan penegasan pemesanan oleh penerima pesanan sebagai akibat kelalaian pemesan sebagaimana diatur dalam pasal 10.1, maka: uang yang telah yang telah dibayar oleh pemesan kepada pemerima pesanan antara lain booking fee, seluruh Down Payment, serta pajak-pajak yang telah disetorkan tidak dapat dikembalikan kepada pemesan (pasal 10.2a).
Berdasarkan informasi salah seorang pemesan, ketentuan ini merupakan bagian dari perjanjian yang ditandatangani ketika konsumen membayar uang muka pembelian apartemen.
Iklan tak sesuai kenyataan
Selain penawaran langsung, Meikarta gencar berpromosi lewat iklan di berbagai media sejak Mei lalu. Berdasarkan data situs Adtensity, rata-rata iklan Meikarta yang tayang di 10 stasiun televisi diputar 353 kali dalam seminggu. Setiap pekannya, biaya iklan sekitar Rp 40 miliar.
Iklan Meikarta dapat dikategorikan sebagai kegiatan pemasaran atau promosi sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pada Pasal 1 angka 6 UU itu menyebutkan, promosi adalah kegiatan pengenalan atau penyebarluasan informasi untuk menarik minat beli konsumen terhadap barang dan/atau jasa yang akan dan sedang diperdagangkan.
Komisioner Ombudsman RI Alamsyah Saragih telah meminta Lippo Cikarang menghentikan penayangan iklan karena termasuk kegiatan pemasaran. Sebab, Lippo hingga kini belum mendapatkan izin sebagai persyaratan kegiatan pemasaran. "Bagi kami sekali lagi itu adalah marketing dan tidak boleh dilakukan sebagaimana di UU Nomor 20 Tahun 2011. Itu salah," katanya.
Sebaliknya, Direktur Komunikasi Lippo Group Danang Kemayan Jati membantah jika iklan yang disiarkan tersebut melanggar hukum karena iklan itu bukan bagian dari pemasaran. Iklan itu merupakan bagian dari pre-selling yang dilakukan bersamaan dengan pengajuan izin yang sedang dilakukan.
"Iklan itu memang paralel dengan izin-izin yang sedang kami ajukan dan itu tidak melanggar. Jadi ada perbedaan antara izin pembangunan dengan marketing, itu beda," kata Danang.
Alamsyah pun menyatakan iklan Meikarta terlalu bombastis atau tak sesuai kenyataan. Dalam iklannya, Lippo menyebutkan akan membangun Kota Baru Meikarta seluas 500 hektare. Namun, hingga rancangan RDTR Kabupaten Bekasi hanya memasukkan kawasan Lippo Cikarang seluas 84,6 hektare.
Sekretaris Menteri Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Imam Apriyanto Putro juga heran dengan iklan Meikarta yang menyebutkan lokasi proyek tersebut dekat dengan stasiun Light Rail Transit (LRT) Jakarta-Bogor-Depok-Bekasi dan stasiun kereta cepat Jakarta-Bandung.
Di hadapan DPR, Imam menjelaskan stasiun LRT paling ujung berlokasi di Bekasi Timur, jauh dari lokasi Meikarta. Pemerintah juga tidak ada rencana untuk membangun stasiun kereta cepat Jakarta-Bandung dekat Meikarta.
"Saya tidak mengerti kalau mereka mengkaitkan dengan proyek Meikarta, karena tidak ada stasiun di sekitar Meikarta," kata Imam di Badan Anggaran di Gedung DPR, Jakarta, Senin (25/9).
Aturan iklan ini harus mengikuti UU Perlindungan Konsumen, yakni menyajikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Pelanggaran atas persyaratan ini mendapat ancaman pidana penjara paling lama lima tahun atau denda maksimal Rp 2 miliar.
COMMENTS